2:58 PM

Zero Tolerance dalam Pendidikan Jepang

Tulisan ini adalah draft tulisan bulan Juni tahun lalu. Saya sering mempunyai ide-ide menulis dan untuk sementara karena tidak ada waktu, hanya saya tulis judulnya dan simpan dalam bentuk draft.

Dalam seminar PDP yang diadakan setiap hari Selasa malam, suatu kali kami membahas tentang kebijakan zero tolerance dalam pendidikan Jepang.

Kebijakan zero tolerance pada awalnya muncul di Amerika Serikat sebagai bagian dari hukum kriminal atau pengadilan. Sejarah tentang zero tolerance saya kutipkan sedikit dari Wikipedia. Zero tolerance dicetuskan pada tahun 1994. Teori ini lahir sebagai kelanjutan dari Teori Broken Windows yang diperkenalkan oleh James Q. Wilson dan George L. Killing pada tahun 1982. Teori Broken Windows adalah sebuah konsep mengantisipasi vandalism atau kriminal. Diibaratkan bahwa apabila sebuah jendela dirusak, maka tindakan vandalisme selanjutnya dapat diperkecil dengan segera memperbaiki kerusakan tersebut. Jika tidak dilakukan perbaikan terhadap jendela yg rusak, maka kondisi jendela rusak itu akan mendorong pelaku untuk merusakkan/memecahkan kaca jendela yang lainnya.

Adapun teori Zero Tolerance adalah mengabaikan segala bentuk perbaikan dan belas kasihan kepada para pelaku kriminal, dan lebih memilih penerapan hukum yang saklek, tanpa tedeng aling-aling. Dengan kata lain, toleransinya nihil!

http://www.lesterho.com/blog/wp-content/gallery/language-school/p3120414.jpg

Konsep zero tolerance diperdebatkan sebagai konsep yang cukup akurat untuk mengantisipasi aktivitas bullying (ijime) yang merebak di sekolah-sekolah Jepang. Konsep ini dipergunakan di Amerika Serikat untuk menghadapi anak-anak yang bermasalah. Sekolah-sekolah berhak mengeluarkan anak-anak seperti ini. Beberapa waktu lalu, sekolah-sekolah Jepang tidak mempunyai hak untuk mengeluarkan anak-anak yang bermasalah, sehingga boleh dikatakan anak yang dikeluarkan dari sekolah di Jepang adalah nihil. Orang Jepang berprinsip bahwa pendidikan anak adalah tanggung jawab sekolah, dan oleh karenanya anak yang melakukan ijime dianggap sebagai akibat pendidikan yang gagal diterapkan di sekolah.

Berbeda dengan di Indonesia, anak-anak yang melakukan tindakan amoral di sekolah diekspos secara besar-besaran oleh media massa, sementara pihak sekolah berusaha menutupinya karena akan mencemari nama baik sekolah. Saya pikir sekolah pada saat itu hanya berpikir untuk kepentingan sekolah. Adapun di Jepang, nama pelaku ijime harus disembunyikan dan tidak boleh ditampilkan di media apabila masih di bawah umur. Pihak keluarga atau bahkan pihak sekolah yang diwawancarai di teve umumnya tidak ditampakkan secara penuh, misalnya dengan wajah yang diburamkan sama sekali atau suara yang diubah.

Karena merebaknya kasus ijime yang bahkan mengarah pada meningkatnya jumlah anak yang melakukan bunuh diri, pakar pendidikan mengajukan konsep zero tolerance. Artinya anak-anak pelaku ijime seharusnya dikeluarkan dari sekolah atau sekolah tidak memberikan keleluasaan bergerak kepadanya.

Tetapi pakar pendidikan yang lain mengutarakan argumen, seandainya ini diterapkan, bagaimanakah nasib si pelaku ijime selanjutnya? Siapa yang akan mengubahnya menjadi berperilaku baik? Apakah hanya orang tuanya yang bertanggung jawab?

Memang sangat berbeda konsep berpikir orang Amerika dan orang Jepang. Jika di Amerika sifat individualistis sangat menonjol, dan bahkan kesempatan mendidik sendiri anak-anak melalui program home schooling pun didukung oleh pemerintah; di Jepang, masyarakatnya masih beranggapan bahwa pendidikan adalah beban pemerintah untuk menyelenggarakannya dan tanggung jawab pendidikan seorang anak adalah tanggung jawab semuanya. Oleh karena itu mengeluarkan anak dari sekolah harus diantisipasi dengan menyediakan lembaga pendidikan baru untuk si anak.

Hukuman memang harus diberikan kepada si pelaku kejahatan. Tetapi bagaimana agar hukuman tersebut membuat pelaku dan orang-orang sekitarnya menjadi sadar dan mengubah diri menjadi lebih baik, itu yang harus dipikirkan.

(sumber: murniramli.wordpress.com)

0 comments: