3:15 PM

MENELUSURI ZAMAN EDO

Zaman Edo (江戸時代 edo jidai), juga dikenal sebagai zaman Tokugawa (徳川時代 Tokugawa jidai), adalah salah satu pembagian periode dalam sejarah Jepang yang dimulai sejak 1603 hingga 1867. Zaman ini ditandai dengan didirikannya Keshogunan Tokugawa di Edo oleh shogun pertama Tokugawa Ieyasu yang berakhir dengan pemulihan kekuasaan kaisar (大政奉還 taisei hokan) dari tangan shogun terakhir (shogun ke-15) Tokugawa Yoshinobu sekaligus mengakhiri kekuasan Keshogunan Tokugawa yang berlangsung selama 264 tahun. Zaman Edo juga disebut sebagai awal zaman modern di Jepang.

1. KEKUASAAN SHOGUN DAN DAIMYO
Sebuah evolusi terjadi selama berabad-abad sejak pemerintahan Kamakura, di mana pemerintahan berjalan seiringan bersama kekuasaan kaisar, hingga berkuasanya Tokugawa, di mana bushi menjadi penguasa yang tak tertandingi pada masa yang disebutkan ahli sejarah Edwin O. Reischauer sebagai sebuah bentuk pemerintahan ‘feodalisme terpusat’ (centralized feudal). Sosok paling penting dalam berdirinya pemerintahan bakufu yang baru ini adalah Tokugawa Ieyasu, seorang yang banyak mendapat keuntungan dari keberhasilan yang diperoleh Oda Nobunaga dan Toyotomi Hideyoshi. Setelah mengimpun kekuatan, Ieyasu semakin diuntungkan dengan pemindahannya ke daerah Kanto yang makmur. Dia mendapatkan tanah seluas 2,5 juta koku dan menempati markas baru di Edo (sekarang Tokyo), kota istana yang strategis, dan mendapat tanah tambahan dua juta koku dan tiga puluh delapan pengikut yang berada di bawah kendalinya. Setelah kematian Hideyoshi, Ieyasu segera berpindah tempat demi mendapatkan kendali kekuasaan dari keluarga Toyotomi.

Kemenangan Ieyasu atas pasukan Barat Toyotomi Hideyori pada Pertempuran Sekigahara (1600) memberinya kendali sesungguhnya atas Jepang. Dia kemudian menghapus banyak nama klan daimyo yang menjadi musuhnya, mengurangi yang lainnya, seperti orang-orang dari keluarga Toyotomi, dan memberikan rampasan perang kepada keluarga dan sekutu-sekutunya. Ieyasu masih belum mendapatkan kendali penuh atas daimyo dari pasukan barat, namun pengambilalihan gelar shogun telah membantu memperkuat sistem persekutuan. Setelah memperkuat basis kekuatan lebih jauh, Ieyasu mengangkat anaknya Hidetada (1579-1632) sebagai shogun sedangkan dia sendiri berhenti dari jabatan pada tahun 1605. Meskipun begitu, keluarga Toyotomi masih menjadi ancaman besar bagi Tokugawa, dan Ieyasu menghabiskan masa sepuluh tahun selanjutnya untuk memberantas mereka. Pada tahun 1615, benteng pertahanan Toyotomi yang berada di Osaka dihancurkan oleh tentara pemerintahan Tokugawa.

Zaman Tokugawa (atau Edo) membawa kestabilan bagi Jepang selama 250 tahun. Sistem politik berlanjut pada sesuatu yang disebut para ahli sejarah sebagai bakuhan (幕藩), gabungan istilah bakufu (幕府) dan han (藩, wilayah) untuk menjelaskan pemerintahan dan keadaan sosial pada masa itu. Dalam sistem bakuhan, shogun memiliki kekuasaan atas seluruh negeri (national authority) sedangkan para daimyo memiliki kekuasaan atas wilayah yang disebut han (regional authority). Hal ini menggambarkan sebuah kesatuan dalam struktur feodal, yang membentuk sebuah birokrasi yang besar untuk mengurus baik kekuasaan terpusat maupun desentralisasi. Keluarga Tokugawa menjadi sangat kuat pada satu abad pertama berkuasa: pembagian tanah memberi mereka hampir seluas tujuh juta koku, kendali atas kota-kota penting, dan sebuah sistem penilaian tanah yang menuai pendapatan sangat besar.

Hierarki feodal membentuk beberapa kelas daimyo. Daimyo yang paling dengan klan Tokugawa adalah shinpan daimyo, atau ‘daimyo penghubung’. Terdapat 23 daimyo yang berada di sebelah tanah milik Tokugawa, semua daimyo dapat secara langsung berhubungan dengan Ieyasu. Shinpan daimyo memegang jabatan kepenasehatan dalam pemerintahan. Kelas kedua dari hierarki tersebut adalah fudai daimyo, atau ‘daimyo turun temurun’, daimyo yang diberi tanah yang dekat dengan tanah milik Tokugawa karena kesetiaan mereka. Pada abad 18, 145 fudai mengendalikan han yang kecil, paling besar sekitar 250.000 koku. Anggota kelas fudai menempati jabatan di hampir semua kantor pemerintahan. Sembilan puluh tujuh han diberikan kepada daimyo golongan ketiga, tozama (daimyo luar), bekas musuh atau pengikut baru yang baru mengabdi setelah pertempuran Sekigahara. Sebagian besar tozama ditempatkan jauh di bagian barat dan utara negara serta sepanjang pesisir Laut Jepang dan mengendalikan hampir sepuluh juta koku tanah produktif. Karena tozama dianggap sebagai daimyo yang memiliki kesetiaan yang paling tipis, mereka diawasi dengan sangat ketat dan diperlakukan dengan baik, meskipun mereka telah dijauhkan dari posisi dalam pemerintahan pusat.

Dinasti Tokugawa tidak hanya memperkuat kendali atas Jepang yang akhirnya kembali dipersatukan, mereka juga memegang kekuasaan yang lebih tinggi daripada kaisar, keluarga kaisar, seluruh daimyo, dan petinggi agama. Kaisar hanya dianggap sebagai sumber hukum terakhir dalam pemberian sanksi politik bagi shogun, yang berpura-pura menjadi pengikut keluarga kaisar. Tokugawa membantu mendapatkan kembali kehormatan keluarga kaisar dengan membangun sejumlah istana dan memberikan tanah yang luas. Untuk menggambarkan citra kedekatan hubungan antara keluarga kaisar dan Tokugawa, cucu perempuan Ieyasu menciptakan hubungan antarpenguasa (imperial consort) pada tahun 1619.

Sebuah kitab undang-undang disusun untuk mengatur para daimyo. Kitab tersebut membatasi gerak-gerik daimyo sampai pada masalah perkawinan, pakaian, pemeliharaan benteng tempat tinggal, dan jenis senjata serta jumlah tentara yang diizinkan; mengharuskan para daimyo memiliki tempat tinggal di Edo untuk bekerja di markas shogun atau menjalankan fungsi protokoler setiap tahun dengan tetap meninggalkan istri dan anak-anaknya di sana (sistem sankin kotai); melarang pembuatan kapal yang dirancang untuk menyeberang lautan; melarang penyebaran agama Kristen; membatasi jumlah benteng hanya satu di setiap daerah (han) dan menetapkan bahwa peraturan pemerintahan bakufu merupakan peraturan negara yang wajib ditaati di semua wilayah. Meskipun para daimyo tidak dikenai pajak yang ditetapkannya, mereka secara teratur ikut membiayai kebutuhan militer dan logistik serta proyek kerja umum seperti benteng, jalanan, jembatan, dan istana. Bermacam-macam peraturan dan pajak terhadap para daimyo tidak hanya memperkuat keshogunan Tokugawa tetapi juga mengeruk kekayaan para daimyo, dengan begitu akan memperlemah ancaman dari mereka terhadap pemerintah pusat. Han, yang sesekali menjadi wilayah militer, semata-mata menjadi unit pemerintahan daerah. Para daimyo memiliki kendali pemerintahan penuh atas wilayah mereka dan sistem rumit yang berkenaan dengan para pengikut, birokrat, dan masyarakat kelas bawah. Kesetiaan tercerabut dari fondasi agama, yang telah lama dilemahkan oleh Nobunaga dan Hideyoshi, melalui berbagai mekanisme pengendalian.

2. LEMBAGA PEMERINTAHAN
a. Rojū dan Wakadoshiyori
Menteri senior (rojū) diangkat dari anggota keshogunan yang paling senior dan bertugas sebagai pengawas ometsuke, machibugyo, ongokubugyo dan pejabat-pejabat tinggi lain. Tugas lain menteri senior adalah berhubungan dengan berbagai kalangan, seperti istana kaisar di Kyoto, kalangan bangsawan (kuge), daimyo, kuil Buddha dan jinja, termasuk menghadiri berbagai macam rapat seperti rapat pembagian daerah. Keshogunan Tokugawa memiliki 4-5 menteri senior yang masing-masing bertugas sebulan penuh secara bergantian. Shogun meminta pertimbangan menteri senior jika ada persoalan penting yang harus diselesaikan. Pada perombakan birokrasi di tahun 1867, posisi menteri senior dihapus dan diganti dengan sistem kabinet, sehingga ada menteri dalam negeri, menteri keuangan, menteri luar negeri, menteri angkatan darat dan menteri angkatan laut.

Pada prinsipnya, fudai daimyo yang memiliki wilayah kekuasaan minimal 50.000 koku memenuhi persyaratan untuk ditunjuk sebagai menteri senior. Walaupun demikian, pejabat menteri senior sering berasal dari birokrat yang dekat dengan shogun, seperti pejabat soba yonin, Kyoto shoshidai, dan Osaka jodai.

Shogun kadang kala menunjuk seorang menteri senior untuk mengisi posisi tairo (tetua atau penasehat). Pejabat tairo dibatasi hanya berasal dari klan Ii, Sakai, Doi dan Hotta, walaupun Yanagisawa Yoshiyasu pernah juga diangkat sebagai pengecualian. Ii Naosuke merupakan tairo yang paling terkenal, tapi tewas dibunuh pada tahun 1860 di luar pintu gerbang Sakurada, Istana Edo.

Sebagai kelanjutan dari dewan rokuninshū (1633–1649) yang terdiri dari 6 anggota, keshogunan Tokugawa membentuk dewan wakadoshiyori yang berada persis di bawah posisi menteri senior (rojū). Dewan wakadoshiyori terbentuk pada tahun 1662 dan terdiri dari 4 anggota. Tugas utama dewan wakadoshiyori adalah mengurusi hatamoto dan gokenin yang merupakan pengikut langsung shogun.

Sebagian shogun juga mengangkat pejabat soba yonin yang bertugas sebagai perantara antara shogun dan rojū. Posisi soba yonin menjadi sangat penting di masa keshogunan Tokugawa ke-5 yang bernama Tokugawa Tsunayoshi akibat salah seorang pejabat wakadoshiyori bernama Inaba Masayasu membunuh pejabat tairo bernama Hotta Masatoshi. Shogun Tsunayoshi yang cemas akan keselamatan dirinya memindahkan kantor rojū hingga jauh dari bangunan utama istana.

b. Ometsuke dan Metsuke
Pejabat yang melapor kepada rojū and wakadoshiyori disebut ometsuke dan metsuke. Lima orang pejabat ometsuke diberi tugas memata-matai para daimyo, kalangan bangsawan (kuge) dan istana kaisar agar segala usaha pemberontakan bisa diketahui sejak dini.

Di awal zaman Edo, daimyo seperti Yagyū Munefuyu pernah ditunjuk sebagai pejabat ometsuke. Selanjutnya, jabatan ometsuke cuma diisi oleh hatamoto yang berpenghasilan minimal 5.000 koku. Shogun sering menaikkan penghasilan ometsuke menjadi 10.000 koku agar ometsuke bisa dihargai dan berkedudukan sejajar dengan daimyo yang sedang diawasi. Pejabat ometsuke juga menerima gelar kami, seperti Bizen-no-kami yang berarti penguasa provinsi Bizen.

Sejalan dengan perkembangan waktu, fungsi pejabat ometsuke berubah menjadi semacam kurir yang menyampaikan perintah dari keshogunan Tokugawa ke para daimyo. Pejabat ometsuke juga diserahi tugas melangsungkan upacara seremonial di lingkungan Istana Edo. Pengawasan kehidupan beragama dan pengendalian senjata api merupakan tanggung jawab tambahan pejabat ometsuke.

Pejabat metsuke melapor kepada wakadoshiyori dan bertugas sebagai polisi militer bagi shogun. Tugasnya mengawasi ribuan hatamoto and gokenin yang berpusat di Edo. Masing-masing wilayah han juga memiliki metsuke yang berfungsi sebagai polisi militer bagi para samurai.

c. San-bugyo
Pelaksanaan pemerintahan dilakukan oleh san-bugyo (tiga lembaga administrasi): jishabugyo, kanjobugyo dan machibugyo. Pejabat jishabugyo berstatus paling elit karena para pejabat selalu berhubungan dengan kuil Buddha (ji) dan kuil Shinto (sha) dan diberi hak penguasaan atas tanah. Pejabat jishabugyo juga menerima pengaduan dari pemilik tanah di luar 8 provinsi Kanto. Pejabat jishabugyo ditunjuk dari kalangan daimyo, dengan Ooka Tadasuke sebagai pengecualian.

Pejabat kanjobugyo yang terdiri dari 4 orang melapor langsung kepada rojū. Tugasnya sebagai auditor keuangan keshogunan Tokugawa.

Pejabat machibugyo merupakan pelaksana pemerintahan tingkat lokal. Tugasnya merangkap-rangkap sebagai walikota, kepala polisi, kepala pemadam kebakaran, dan hakim pengadilan pidana dan hukum perdata, tapi tidak bertanggung jawab terhadap samurai. Pejabat machibugyo yang terdiri dari 2 orang (pernah juga sampai 3 orang) biasanya diambil dari hatamoto, bertugas bergantian selama satu bulan penuh.

Tiga orang pejabat machibugyo menjadi terkenal berkat film samurai (jidaigeki), pejabat bernama Ooka Tadasuke dan Toyama Kinshiro (Toyama no Kinsan) selalu digambarkan sebagai pahlawan, sedangkan Torii Yozo sebagai penjahat.

Pejabat san-bugyo merupakan anggota dari dewan yang disebut Hyojosho. Anggota dewan hyojosho bertanggung jawab dalam soal administrasi tenryo, mengawasi gundai, daikan dan kura bugyo. Selain itu, anggota dewan hyojosho juga hadir sewaktu diadakan dengar pendapat sehubungan dengan kasus yang melibatkan samurai.

d. Tenryo, Gundai dan Daikan
Shogun juga menguasai secara langsung tanah di berbagai daerah di Jepang. Tanah milik shogun disebut Bakufu Chokkatsuchi yang sejak zaman Meiji disebut sebagai Tenryo. Shogun memiliki tanah yang sangat luas, mencakup daerah-daerah yang sudah sejak dulu merupakan wilayah kekuasaan Tokugawa Ieyasu, ditambah wilayah rampasan dari para daimyo yang kalah dalam Pertempuran Sekigahara, serta wilayah yang diperoleh dari pertempuran musim panas dan musim dingin di Osaka. Di akhir abad ke-17, seluruh wilayah kekuasaan Tokugawa bernilai 4 juta koku. Kota perdagangan seperti Nagasaki dan Osaka, berbagai lokasi pertambangan seperti tambang emas di Sado termasuk ke dalam wilayah kekuasaan langsung shogun.

Wilayah kekuasaan shogun tidak dipimpin oleh daimyo melainkan oleh pelaksana pemerintahan yang memegang jabatan gundai, daikan, dan ongoku bugyo. Kota-kota penting seperti Osaka, Kyoto and Sumpu dipimpin oleh machibugyo, sedangkan kota pelabuhan Nagasaki dipimpin oleh Nagasaki bugyo yang ditunjuk oleh shogun dari hatamoto yang sangat setia pada shogun.

e. Gaikoku bugyo
Gaikoku bugyo merupakan sebuah lembaga administrasi yang bekerja antara tahun 1858 dan 1868. Tugas mereka adalah untuk mengatur perdagangan dan hubungan diplomatik dengan negara-negara asing, dan pelaksanaannya didasarkan pada persetujuan Nagasaki dan Kanagawa (Yokohama).

3. DARI KETERBUKAAN MENUJU KETERTUTUPAN
Seperti Hideyoshi, Ieyasu mendukung perdagangan luar negeri tetapi juga bersikap sangat curiga terhadap bangsa asing. Dia ingin menjadikan Edo sebagai sebuah pelabuhan penting, namun ketika dia mengetahui bahwa bangsa Eropa yang lebih memilih Kyūshū sebagai pelabuhan penting dan Cina menolak rencananya untuk melakukan perdagangan resmi, dia pun berubah pikiran dan mengontrol perdagangan yang telah ada dan hanya mengizinkan pelabuhan tertentu untuk menangani jenis komoditas yang khusus.

Masa awal zaman Edo muncul bersamaan dengan dekade akhir zaman perdagangan Nanban di mana banyak terjadi hubungan yang tegang dengan negara-negara Eropa, terutama di bidang ekonomi dan kepercayaan. Ini merupakan awal zaman Edo, saat Jepang untuk pertama kalinya membangun kapal perang pembelah lautan bergaya Barat, seperti San Juan Bautista, kapal layar seberat 500 ton yang sempat mengantarkan para duta Jepang yang dipimpin oleh Hasekura Tsunenaga menuju Amerika dan Eropa. Selama periode ini pula, pemerintah bakufu memberi perintah kepada sekitar 350 Kapal Segel Merah (朱印船 Shuinsen), kapal dagang bersenjata dengan tiga tiang, untuk perdagangan antarnegara Asia. Para petualang dari Jepang, seperti Yamada Nagamasa, menggunakan kapal tersebut mengelilingi Asia.

Pada hakikatnya, ‘masalah agama Kristen’, akhirnya, merupakan masalah dalam pengendalian baik daimyo beragama Kristen di Kyūshū dan hubungan dagang dengan bangsa Eropa. Sejak 1612, para pengikut shogun dan penduduk di wilayah penguasaan Tokugawa telah bersumpah untuk tidak memeluk agama Kristen. Pembatasan lain muncul pada tahun 1616 (pembatasan perdagangan luar neegeri bagi Nagasaki dan Hirado, sebuah pulau di barat laut Kyūshū), tahun 1622 (pelaksanaan hukuman mati bagi 120 misionaris dan para petobat), 1624 (pengusiran bangsa Spanyol), dan 1629 (pelaksanaan hukuman mati bagi ribuan pemeluk agama Kristen). Akhirnya, Surat Perintah Penutupan Negeri 1635 melarang setiap warga Jepang untuk keluar-masuk negeri. Pada tahun 1636 Belanda dibatasi geraknya hanya di Dejima, sebuah pulau buatan kecil—karena itu bukan pulau alami Jepang—di pelabuhan Nagasaki.

Keshogunan merasa Kristen Katolik merupakan faktor penyebab destabilisasi, dengan begitu mereka memiliki alasan untuk melakukan penyiksaan para pemeluk Katolik. Pemberontakan Shimabara pada 1637-1638, saat para petani dan kaum samurai yang menganut agama Kristen memberontak terhadap pemerintah bakufu karena merasa tertekan—dan Edo meminta kapal Belanda untuk membombardir kubu pertahanan mereka—menandai berakhirnya pergerakan agama Kristen, meskipun beberapa penganut Keristen Katolik dapat bertahan dengan beribadah secara sembunyi-sembunyi (kakure kirishitan). Segera setelah itu, bangsa Portugis pun diusir, anggota misi diplomatik dihukum mati, semua warga negara diperintahkan untuk mencatat diri mereka di kuil Shinto atau Budha, dan orang-orang Belanda dan Cina sedikit demi sedikit dibatasi keberadaannya hanya di Dejima dan wilayah sempit di Nagasaki. Selain itu, perdagangan dalam skala kecil antara beberapa daimyo luar dan Korea dan Pulau Ryukyu, hingga ke pulau utama Jepang sebelah barat daya, sejak 1641, kontak dengan luar negeri dibatasi oleh kebijakan politik sakoku untuk Nagasaki.

Pada tahun 1650, agama Kristen hampir seluruhnya dibasmi dan pengaruh agama, ekonomi, dan politik dari luar yang masuk ke Jepang benar-benar dibatasi. Hanya Cina, VOC Belanda, dan Inggris yang dalam jangka waktu yang pendek dapat menikmati hak berkunjung ke Jepang, hanya untuk berdagang, dan mereka dibatasi hanya di pelabuhan Dejima di Nagasaki. Bangsa Eropa lain yang mendarat di pesisir Jepang akan segera dibunuh dengan kejam.

4. KEADAAN SOSIAL
Setelah lama dilanda konflik internal, sasaran utama pemerintahan Tokugawa yang baru berdiri ini adalah menenangkan negeri itu. Pemerintah menciptakan keseimbangan kekuatan (balance of power) yang menciptakan (secara alami) kestabilan selama 250 tahun kemudian, dipengaruhi oleh ajaran Konfusianisme tentang hubungan sosial. Kebanyakan samurai kehilangan kepemilikan langsung atas tanah mereka: semua kepemilikan tanah dipusatkan pada sekitar 300 daimyo. Para samurai hanya punya satu pilihan: menyimpan pedang mereka dan menjadi petani, atau pindah ke kota untuk mengabdi kepada penguasa feodal dan mendapat bayaran. Banyak samurai yang sebelumnya memiliki sedikit lahan namun mereka tinggalkan dan menjadi pengikut langsung shogun; mereka disebut hatamoto yang berpenghasilan minimal 5000 koku. Para daimyo bekerja di bawah pengawasan ketat shogun. Istri dan anak mereka harus dipisahkan dan tinggal di Edo; para daimyo sendiri harus tinggal di Edo dan di tempat kekuasaannya (han) selama setahun atau setengah tahun berturut-turut. Sistem ini dinamakan sankin kotai.

Masyarakat dibagi ke dalam empat golongan di dalam suatu sistem yang dikenal sebagai mibunsei (身分制): kaum samurai berada di urutan tertinggi (sekitar 5% populasi) dan petani (lebih dari 80% populasi) berada di urutan kedua. Di bawah petani adalah tukang, dan yang berada di urutan paling rendah, urutan keempat, adalah pedagang. Hanya petani yang hidup di perdesaan. Samurai, tukang, dan pedagang tinggal di perkotaan yang dibangun di sekitar benteng daimyo, masing-masing memiliki batasan wilayah.

Ada lagi gologan lain di atas sistem tersebut, yaitu kuge, keturunan bangsawan di lingkungan istana di Kyoto. Meskipun mereka mendapatkan kembali kehormatan mereka setelah kemiskinan selama masa perang, mereka hampir tidak memiliki pengaruh apapun terhadap politik negara.

Di luar keempat kelas tadi, ada pula yang disebut eta dan hinin, yang termasuk golongan ini adalah orang-orang yang pekerjaannya dianggap hina karena melanggar perintah Buddha. Golongan eta meliputi penjagal, penyamak, dan pengurus makam. Hinin bekerja sebagai penjaga kota, pembersih jalan, dan algojo. Yang lainnya termasuk pengemis, penghibur, dan pelacur. Istilah eta secara bahasa diartikan sebagai ‘dekil’ sedangkan hinin diartikan sebagai ‘bukan manusia’, sebuah cerminan jelas dari suatu sikap yang dimiliki kelas lain yang menganggap bahwa eta dan hinin sama sekali bukan manusia. Hinin hanya diperkenankan untuk tinggal di tempat-tempat khusus di kota. Para aktor biasanya bepergian dalam bentuk rombongan dari satu desa ke desa lain, menampilkan keahlian mereka bermain peran. Orang-orang dari golongan atas dianggap sah secara hukum jika harus membunuh kaum hinin. Bahkan terkadang perkampungan kaum eta sengaja tidak dimasukkan ke dalam peta resmi oleh pemerintah.

Setiap orang tidak memiliki hak pribadi di zaman Tokugawa ini. Keluarga merupakan keberadaan terkecil yang diakui, dan menjaga nama baik keluarga merupakan hal yang paling utama di tingkat masyarakat.

5. PERKEMBANGAN EKONOMI DAN PERINDUSTRIAN
Perkembangan ekonomi selama masa Tokugawa termasuk urbanisasi, peningkatan komoditas pengapalan, perluasan dalam negeri yang signifikan dan, pada mulanya, perdagangan luar negeri, serta difusi perdagangan dan industri kerajinan tangan. Perdagangan konstruksi meningkat, seiring fasilitas perbankan dan asosiasi dagang. Penguasa han terus mengatur perkembangan hasil pertanian dan kerajinan tangan dari perdesaan yang tersebar.

Pada pertengahan abad 18, populasi di kota Edo mencapai lebih dari satu juta, sedangkan Osaka dan Kyoto masing-masing mencapai lebih dari 400.000 penduduk. Begitu pula pertumbuhan penduduk di banyak kota istana lainnya. (Sebagai catatan, bagaimanapun, Jepang memiliki pertumbuhan penduduk hampir nol antara dekade 1720an dan 1820an, rendahnya angka kelahiran ini disebut-sebut karena kelaparan yang melanda hampir semua daerah pada masa itu). Osaka dan Kyoto menjadi pusat perdagangan dan hasil kerajinan tangan yang sibuk, sementara Edo menjadi pusat persediaan pangan dan barang konsumsi bagi kota penting.

Beras menjadi tonggak perekonomian, karena daimyo mengumpulkan pajak berupa beras dari para petani. Pajak tersebut sangat tinggi, sekitar 40% dari seluruh panen. Beras selanjutnya dijual di pasar fudasashi di Edo. Untuk mengumpulkan uang, para daimyo menggunakan kontrak jual-beli masa depan (forward contracts) untuk menjual beras sebelum masa panen tiba. Kontrak semacam ini hampir sama dengan perdagangan masa depan (futures trading) di zaman modern.

Di sepanjang zaman Edo, Jepang mengembangkan sebuah peraturan tentang pengelolaan kehutanan yang maju. Peningkatan permintaan untuk kayu konstruksi, pembangunan kapal, bahan bakar mendorong penebangan hutan yang meluas, yang mengakibatkan kebakaran hutan, banjir, dan longsor. Sebagai rasa keprihatinan, shogun, yang dimulai sekitar 1666, menciptakan kebijakan untuk mengurangi penebangan dan meningkatkan penanaman pohon. Kebijakan tersebut mengamanatkan bahwa hanya shogun dan daimyo yang dapat memberi izin penggunaan kayu. Pada abad 18, Jepang telah mengembangkan penelitian ilmiah yang terperinci mengenai ilmu kehutanan dan silvikultur (seni penghijauan hutan).

Ketika pemerintahan Edo menguasai seluruh pelosok negeri, tidak ada lagi peperangan dan pertanian menjadi lebih maju. Para petani membuka lahan pertanian, memperluas sawah dan ladang, memperbaiki alat pertanian, dan menambah jenis hasil pertanian. Mereka pun menjadi kaya dengan menjual barang-barang industri yang khas dari berbagai daerah pada kaum pedagang, yaitu barang-barang seperti: beras, kapas, sutra, minyak, dan sebagainya. Industri kerajinan tangan (shukogyo) seperti: tenunan sutra, sake, atau kertas pun turut berkembang.

Sebagai pengaruh dari perkembangan industri dan sankin kotai, lalu lintas menjadi ramai dan jalan-jalan pun bertambah. Dengan menempatkan Edo sebagai pusatnya, dibangunlah lima jalan raya, seperti: jalan raya Tokaido yang menyusuri pantai menuju Kyoto, Koshukaido yang menuju Koshu (Yamanashi-ken), Oshukaido yang menuju Oshu (Tohoku-chiho), Nikkokaido yang menuju Nikko. Selain itu, dibangun pula tempat pemberhentian di Kaido. Namun, pemerintah bakufu pun mendirikan pos-pos pemeriksaan di berbagai daerah untuk memeriksa orang yang lalu lalang untuk kepentingan militer dan tidak membangun jembatan di sungai-sungai besar seperti sungai Bi dan sungai Tenryu. Sementara, untuk mengangkut barang yang banyak dan juga berat, digunakanlah kapal, sehingga jalur pelayaran pun berkembang.

Sejalan dengan perkembangan lalu lintas dan industri, perdagangan pun semakin banyak. Karena pajak beras yang dikumpulkan bakufu dan daimyo di Osaka ditukar dengan uang tunai, muncullah pedagang besar seperti: Konoike (Osaka), Mitsui (Edo), dan sebagainya.

Perkembangan industri di Edo yang menjadi pusat pemerintahan berdampak pula pada pertumbuhan populasi yang mencapai angka satu juta jiwa. Dibangun pula perusahaan air minuum skala besar seperti Tamagawa dan Kanda. Osaka yang menjadi pusat perekonomian, di mana kaum pedagang di kota ini dapat dianggap paling banyak, disebut banyak orang sebagai tenka no daidokoro (dapur seluruh negeri).

6. PERKEMBANGAN INTELEKTUAL DAN SENI
Sepanjang zaman ini, Jepang semakin mempelajari teknik dan ilmu pengetahuan Barat (disebut rangaku, secara harfiah ‘pengetahuan dari bangsa Belanda’) melalui informasi dan buku-buku yang didapat dari para saudagar Belanda di Dejima. Subjek utama yang banyak dipelajari termasuk geografi, kedokteran, ilmu alam, astronomi seni, bahasa dan sastra, ilmu fisika seperti fenomena listrik, dan ilmu mekanik seperti yang diperlihatkan dengan Jepang dalam kemajuan mengembangkan jam atau wadokei, diilhami dari teknik yang dimiliki bangsa Barat.

Pesatnya pertumbuhan Neo-Konfusianisme merupakan perkembangan intelektual yang paling terlihat di zaman Tokugawa. Ajaran Konfusianisme telah lama dibiarkan aktif di Jepang oleh para pendeta Buddha, namun selama zaman Tokugawa, Konfusianisme berada dalam kendali Buddha. Sistem meditasi ini menarik banyak perhatian bagi kalangan yang memiliki pandangan sekuler. humanisme etis, rasionalisme, dan pandangan historis terhadap doktrin neo-Konfusianisme terlihat menarik bagi masyarakat yang terbagi dalam beberapa kelas. Pada pertengahan abad 17, ajaran neo-Konfusianisme menjadi filososi masyarakat Jepang yang digemari dan berkontribusi secara langsung pada perkembangan kokugaku (ilmu kenegaraan) di sekolah meditasi.

Pembelajaran secara berkelanjutan dan pertumbuhan penerapan ajaran neo-Konfusianisme berkontribusi pada transisi kondisi sosial dan politik dari bentuk feodal ke bentuk penerapan yang berorientasi pada masyarakat luas. Aturan bagi masyarakat atau penganut Konfusianisme secara bertahap digantikan oleh kepastian hukum. Hukum baru dikembangkan, dan perlengkapan administratif baru didirikan. Sebuah teori pemerintahan dan pandangan kemasyarakatan yang baru muncul sebagai pembenaran atas penguasaan yang lebih komprehensif oleh bakufu. Setiap orang memiliki tempat yang berbeda dalam masyarakat dan diharapkan dapat bekerja untuk memenuhi tugas mereka. Masyarakat harus menerima dengan lapang bahwa mereka harus dapat diperintah oleh mereka yang memang ditugaskan untuk memerintah mereka. Pemerintah bisa dianggap mahakuasa namun sangat perhatian dan bertanggung jawab. Meskipun sistem pembagian kelas ini dipengaruhi oleh ajaran neo-Konfusianisme, sistem ini sama sekali tidak sama dengan ajaran sesungguhnya. Sedangkan tentara dan petinggi agama berada di hierarki paling bawah dalam sistem yang sama di Cina, di Jepang, beberapa di kelas ini berperan penting dalam pendirian kekuasaan (ruling elite).

Kaum samurai mempertahankan tradisi mereka dengan pembaharuan minat dalam sejarah Jepang dan dalam penanaman tradisi pengajaran Konfusianisme, menghasilkan perkembangan dalam konsep bushido (jalan para samurai). Jalan hdup lainnya––chonindo—juga muncul. Chonindo (町人道, jalan para pedagang) merupakan budaya yang berbeda yang bangkit di kota-kota besar seperti Osaka, Kyoto, dan Edo. Hal ini mendorong harapan dalam peningkatan kualitas bushido—kerajinan, kejujuran, kehormatan, kesetiaan, dan kesederhanaan—dengan mencarpuradukkan ajaran Shinto, neo-Konfusianisme, dan Buddha. Peningkatan pun terjadi pada pembelajaran matematika, astronomi, kartografi, ilmu rancang-bangun, dan pengobatan. Penekanan ditempatkan pada kualitas pengerjaan, terutama dalam bidang seni. Untuk pertama kalinya, populasi di kota memiiki keinginan dan waktu untuk mendukung kebudayaan masyarakat yang baru. Keinginan mereka untuk mencari kesenangan kemudian dikenal sebagai ukiyo (浮世, dunia yang mengapung), dunia fashion yang ideal, pertunjukkan populer, dan penemuan kualitas estetik dalam objek dan kebiasaan hidup sehari-hari, termasuk seks (春画, shunga). Perempuan penghibur (芸者, geisha), musik, cerita terkenal, kabuki dan bunraku (文楽, panggung wayang), syair, kesusastraan yang kaya, dan seni, yang tergambarkan dalam gambar kayu yang indah (dinamakan ukiyo-e), semua adalah bagian dari kebudayaan yang berkembang. Dunia sastra pun tumbuh seiring munculnya dramawan berbakat Chikamatsu Monzaemon (1653-1724) dan penyair haiku, pengarang esai, dan penulis catatan perjalanan Matsuo Basho (1644-1694).

Cetakan ukiyo-e mulai diciptakan pada akhir abad 17, dan pada tahun 1764, Harunobu menciptakan cetakan polikrom yang pertama. Desainer generasi berikutnya, termasuk Torii Kiyonaga dan Utamaro, membuat lukisan tentang pelacur yang elegan dan terkadang terlalu vulgar. Pada abad 19, figur yang sering muncul adalah Hiroshige, seorang pelukis pemandangan yang sentimentil dan romantis. Sudut yang aneh dan bentuk yang sering diperlihatkan Hiroshige dalam lukisan pemandangannya dan karya-karya Kiyonaga dan Utamaro, dengan penekanan di atas bidang datar dan pada garis linier yang kuat, memiliki pengaruh kuat pada para pelukis Barat yang terkenal seperti Edgar Degas dan Vincent van Gogh di kemudian hari.

Agama Buddha dan Shinto memiliki peranan penting di zaman Tokugawa. Buddha, yang digabungkan dengan neo-Konfusianisme, menciptakan sebuah standar tingkah laku sosial. Meskipun tidak memiliki kekuatan politik yang kuat seperti di masa lalu, Buddha banyak didukung oleh masyarakat kalangan atas. Pengasingan agama Kristen menguntungkan agama Buddha pada tahun 1640 ketika bakufu mengharuskan masyarakat mencatatkan diri ke kuil. Pemisahan masyarakat yang kaku di masa Tokugawa ke dalam han, desa, kabupaten, dan rukun warga turut menegaskan penanaman agama Shinto di daerah. Shinto memberikan penyegaran rohani ke dalam situasi politik dan memiliki hubungan penting antara individu dan masyarakat. Shinto turut menjaga identitas nasional.

Shinto dengan cepat mengasumsikan sebuah bentuk intelektual dari rasionalisme dan materialisme kaum neo-Konfusianisme. Gerakan kokugaku muncul dari interaksi kedua sistem kepercayaan ini. Kokugaku mendukung nasionalisme yang berpusat pada penguasa di Jepang modern dan kebangkitan kembali agama Shinto sebagai kepercayaan resmi negara di abad 18 dan 19. Kojiki, Nihongi, dan Man'yoshū semuanya dipelajari kembali sebagai pencarian jiwa masyarakat Jepang. Beberapa pemeluk paham kemurnian dalam gerakan kokugaku, seperti Motoori Norinaga, bahkan mengritik pengaruh kaum Konfusianisme dan Buddha—pada hakikatnya, pengaruh asing—dalam menodai jalan hidup masyarakat Jepang. Jepang merupakan tanah para kami (神, dewa) dan, demikianlah, memiliki takdir yang khusus.

7. AKHIR KESHOGUNAN
a. Kemunduran Tokugawa
Akhir zaman Edo sering pula disebut dengan akhir keshogunan Tokugawa. Sebab berakhirnya zaman ini sangat kontroversial namun dikisahkan sebagai penentangan terhadap pembukaan Jepang terhadap dunia luar oleh Laksamana Matthew Perry dari Angkatan Laut Amerika Serikat, di mana armada (dikenal oleh orang Jepang sebagai kurofune atau kapal hitam) mereka menembakkan senjata canggih mereka dari Teluk Tokyo. Beberapa pulau kecil buatan dibangun untuk menghalangi cakupan armada, dan pulau-pulau kecil ini masih ada hingga saat ini di distrik Odaiba.

Tokugawa tidak roboh hanya karena kegagalan dari dalam. Gangguan dari pihak asing semakin mempercepat perjuangan politik yang rumit antara bakufu dan koalisi para penentangnya. Kesinambungan gerakan anti-bakufu di pertengahan abad 19 akhirnya dapat menumbangkan Tokugawa. Sejak awal, Tokugawa telah mencoba membatasi kekayaan masyarakat dan menetapkan kebijakan ‘kembali ke lahan’, di mana para petani merupakan masyarakat ideal dalam masyarakat.

Di samping usaha untuk membatasi kekayaan dan sebagian karena zaman yang sangat damai, standar kehidupan penduduk desa dan kota seolah tumbuh secara signifikan selama zaman Tokugawa. Kebutuhan hidup yang lebih baik seperti hasil panen, transportasi, perumahan, makanan, dan hiburan sangat tersedia, sehingga lebih banyak waktu luang, paling tidak bagi penduduk kota. Tingkat melek huruf juga sangat tinggi untuk ukuran masyarakat praindustri, dan nilai budaya ditanamkan dan secara luas disampaikan oleh kaum samurai dan chonin. Di samping kemunculan kembali serikat pekerja, aktivitas ekonomi menjadi semakin baik melampaui ‘takdir’ bagi kaum pekerja, perdagangan menyebar, dan perputaran uang di masyarakat meningkat. Walaupun pemerintah dengan berat membatasi para pedagang dan memandang mereka sebagai anggota masyarakat yang tidak produktif, para samurai, yang berangsur-angsur terpisah dari kehidupan sosial di desa mereka, sangat bergantung pada kaum pedagang dan para tukang atau penjual jasa dalam hal barang-barang konsumsi, minat seni, dan pinjaman. Dengan cara ini, sebuah subversi yang tak terpisahkan dari kelas samurai dan para chonin terjadi.

Perjuangan mempertahankan kekuasaan terlihat semakin berat di panggung politik saat itu di mana shogun semakin membebankan masalah ekonomi pada kaum usahawan. Pemerintah yang ingin menciptakan sebuah masyarakat agraris telah gagal untuk memandang kenyataan atas perkembangan distribusi barang-jasa. Birokrasi yang lebih besar ditingkatkan, namun akhirnya mengalami stagnasi karena bertentangan dengan keadaan sosial baru yang kini berkembang. Jika melihat sebelumnya, populasi meningkat secara signifikan selama masa awal pemerintahan Tokugawa. Meskipun laju pertumbuhan tidak dapat dipastikan, terdapat sekurang-kurangnya 26 juta penduduk dan sekitar empat juta anggota keluarga samurai dan dan pelayan mereka ketika sensus nsional pertama dilakukan pada tahun 1721. Musim kemarau, yang diikuti oleh kegagalan panen dan kelaparan, mengakibatkan Jepang dilanda kelaparan yang merata antara tahun 1675 dan 1837. Kegelisahan para petani pun tumbuh, dan pada akhir abad 18, protes massa atas pajak dan kekurangan pangan terjadi di mana-mana. Banyak keluarga yang kehilangan tanahnya menjadi petani sewaan, sementara orang-orang miskin yang tak memiliki tempat lagi bermigrasi ke kota. Karena kekayaan masyarakat yang tadinya baik terus mengalami kemunduran, yang lain pindah untuk mengambil alih lahan, dan kelas petani baru yang kaya muncul. Orang-orang yang diuntungkan tersebut dapat menciptakan aneka hasil pertanian dan menyewa pekerja, sementara yang lain merasakan ketidakpuasan. Banyak kaum samurai merasa dalam masa yang sangat sulit dan dipaksa untuk berkerja membuat kerajinan tangan dan mencari upah dari para pedagang.

Meskipun Jepang mampu untuk memperoleh dan memurnikan ilmu pengetahuan yang luas, proses industrialisasi yang cepat dari Barat sepanjang abad 18 untuk pertama kalinya menciptakan kesenjangan materi dalam hal teknologi dan peralatan perang antara Jepang dan Barat (yang tidak terlalu mencolok di awal zaman Edo), yang memaksanya meninggalkan politik sakoku dan mendukung akhir pemerintahan Tokugawa.

Gangguan dari Barat mengalami peningkatan pada awal abad 19. Kapal perang dan pedagang dari Rusia menyusup ke Karafuto (disebut Sakhalin di bawah Rusia dan kendali Soviet) dan Kepulauan Kuril, pulau paling selatan Rusia yang dianggap oleh orang Jepang sebagai pulau bagian utara Hokkaido. Sebuah kapal perang Inggris memasuki pelabuhan Nagasaki mencari kapal-kapal Belanda yang merupakan musuh mereka pada tahun 1808, serta kapal perang dan kapal penangkap ikan paus lain semakin sering terlihat di perairan Jepang pada dekade 1810an dan 1820an. Kapal penangkap ikan dan kapal dagang dari Amerika Serikat pun datang ke pesisir kepulauan Jepang. Meskipun masyarakat Jepang membuat beberapa pengecualian dan membiarkan kapal-kapal itu merapat, mereka sebenarnya tetap mencoba untuk menghalau orang asing untuk masuk, terkadang dengan menggunakan kekerasan. Rangaku menjadi rumit tidak hanya dalam memahami orang asing sebagai ‘kaum barbar’ tetapi juga dalam penggunaan pengetahuan yang berasal dari Barat untuk menghalau mereka.

Pada 1830an, mulai terlihat akan terjadinya krisis sosial yang besar. Kelaparan dan bencana alam menghantam dengan keras, dan kegelisahan masyarakat mendorong pemberontakan petani terhadap pemerintah dan kaum pedagang di Osaka pada tahun 1837. meskipun hanya terjadi sehari, pemberontakan tersebut menciptakan suatu kesan dramatis. Perbaikan datang dalam wujud pemecahan tradisional di mana yang dijadikan sumber masalah adalah kebusukan moral para pemimpin, bukan masalah kelembagaan. Para penasihat shogun memaksa pengembalian jiwa tempur, pembatasan yang lebih ketat atas hubungan dan perdagangan luar negeri, pelarangan rangaku, penyensoran terhadap buku-buku, dan penghapusan ‘kemewahan’ pada kelas pemerintah dan samurai. Pihak lain mencari cara untuk merobohkan Tokugawa dan mendukung secara politis propoganda sonno joi (hormati kaisar, usir kaum barbar), yang menuntut kesatuan di bawah aturan kekaisaran dan menentang campur tangan asing. Sementara pemerintah bakufu terus berusaha menaruh perhatian pada kesuksesan Barat dalam membangun wilayah koloni di Cina mengikuti Perang Candu I antara tahun 1839-1842. Semakin banyak kalangan masyarakat yang meminta perubahan, terutama dalam bidang ekonomi, untuk memperkuat posisi Jepang melawan ancaman Barat.

Jepang menolak permintaan Amerika Serikat, yang terus melakukan ekspansi di wilayah Asia Pasifik, untuk menjalin hubungan diplomatik ketika Laksamana James Biddle muncul Teluk Edo bersama dua kapal perang pada Juli 1846.

b. Pembukaan Negeri
Sejak Laksamana Matthew Calbraith Perry dengan kapalnya tiba di Teluk Edo pada Juli 1853, pemerintah Tokugawa terlempar ke dalam huru-hara yang terus meluas. Ketua dewan senior, Abe Masahiro (1819–1857), bertanggung jawab atas ditandatanganinya persetujuan pertama antara Amerika Serikat dan Jepang. Abe yang tak memiliki catatan pengalaman dalam mengatasi ancaman terhadap keamanan nasional ini mencoba untuk menengahi keinginan anggota dewan senior untuk berkompromi dengan pihak asing. Dewan senior ini bermaksud membicarakan Tenno yang menginginkan Jepang bebas dari campur tangan bangsa asing dan para daimyo yang terus melawan pemerintahan. Tanpa persetujuan dewan, Abe memutuskan untuk melayani kehendak Perry untuk membuka Jepang bagi bangsa asing di samping menyiapkan perlawanan militer. Pada Maret 1854, sesuai Persetujuan Damai dan Persahabatan (atau Persetujuan Kanagawa), Jepang harus membuka dua pelabuhan penting bagi kapal-kapal Amerika yang mencari perbekalan, memberikan pertolongan bagi kapal Amerika yang karam di perairan Jepang, dan mengizinkan Amerika menempatkan seorang konsulat jenderal di Shimoda, pelabuhan di Semenajung Izu di sebelah barat daya Edo. Lima tahun kemudian, pihak Amerika memaksa pemerintah bakufu untuk menandatangani perjanjian perdagangan, yang mengharuskan Jepang membuka lebih banyak wilayah perdagangan bagi Amerika.

Keruntuhan keshogunan Tokugawa semakin terlihat jelas. Perdebatan atas kebijakan pemerintah semakin jarang dan kritik masyarakat terhadap keshogunan pun semakin keras. Dengan berharap pada dukungan sejumlah pihak yang bersekutu, Abe sempat berbicara dengan shinpan daimyo dan tozama daimyo mengenai terjadinya kegemparan di antara fudai daimyo. Suatu hal yang semakin memperlemah pemerintah shogun. Pada saat Reformasi Ansei (1854–1856), Abe kemudian mencoba memperkuat kekuasaan rezim Tokugawa dengan membeli kapal perang dan persenjataan dari Belanda serta membangun daerah pertahanan baru. Pada tahun 1855, sekolah angkatan udara didirikan di Nagasaki dengan menyewa pelatih asal Belanda, dan sekolah militer ala Barat dibangun di Edo; sementara setahun kemudian pemerintah banyak menerjemahkan buku-buku Barat. Para penentang Abe pun semakin bertambah di kalangan fudai daimyo, yang sejak awal menentang pembukaan dewan pemerintahan terhadap tozama daimyo, dan akhirnya Abe diberhentikan dari jabatannya sebagai ketua dewan senior oleh Hotta Masayoshi (1810–1864) pada tahun 1855.

Di antara beberapa tokoh politik yang tak sepakat atas kebijakan itu tersebutlah nama Tokugawa Nariaki yang anti-Barat. Nariaki adalah orang yang sejak lama menyatakan kesetiaannya kepada Tenno, dan orang yang diberikan tanggung jawab atas pertahanan nasional pada 1854.

Pada tahun-tahun terakhir kekuasaan Tokugawa, hubungan dengan bangsa asing semakin meningkat. Perjanjian yang dilakukan pada tahun 1859 mengizinkan lebih banyak pelabuhan yang dibuka demi hubungan diplomatik, perdagangan tanpa pengawasan pemerintah Jepang di empat pelabuhan, dan pendirian rumah-rumah tinggal bagi bangsa asing di Edo dan Osaka. Perjanjian ini juga berisi tentang hak ekstrateritorial (warga asing tunduk pada hukum di negara-negara asal mereka sendiri dan tidak tunduk kepada hukum Jepang). Hotta kehilangan banyak dukungan dari para daimyo, dan ketika Tokugawa Nariaki menggugat perjanjian tersebut, Hotta mendapat sanksi dari kaisar. Penguasa, yang mengetahui bahwa bakufu semakin lemah, menolak permintaan Hotta dan mengacaukan di Kyoto dan menjerumuskan kaisar ke dalam politik internal Jepang untuk pertama kali sejak berabad-abad. Ketika shogun meninggal tanpa seorang ahli waris pun, Nariaki memohon kepada penguasa untuk mencari dukungan bagi anaknya, Tokugawa Yoshinobu (atau Keiki), karena shogun adalah seorang yang dijunjung oleh shinpan daimyo dan tozama daimyo. Fudai daimyo menang mutlak dalam hal kekuatan, bagaimanapun, penekanan terhadap Tokugawa Yoshitomi, penahanan Nariaki dan Keiki, penghukuman mati Yoshida Shoin (1830–1859, seorang intelektual yang memimpin gerakan sonno-joi dan menentang perjanjian dengan Amerika serta merencanakan revolusi melawan bakufu), dan penandatanganan perjanjian dengan Amerika dan lima negara lain, semuanya mengakhiri isolasi Jepang yang telah berlangsung lebih dari 200 tahun.

c. Bakumatsu, Konflik dan Modernisasi
Pada tahun-tahun terakhir pemerintahan bakufu, atau disebut pula bakumatsu, pemerintahan bakufu mengambil langkah jauh dalam mencoba kembali menekankan kekuasaannya, meskipun keterlibatannya dalam modernisasi dan kerja sama dengan bangsa asing malah membuatnya menjadi sasaran sentimen anti-Barat di seluruh negeri.

Angkatan darat dan angkatan laut terus mengalami modernisasi. Sekolah angkatan laut didirikan di Nagasaki pada tahun 1855. Banyak murid di sekolah ini dikirim ke negara Barat selama beberapa tahun untuk mempelajari angkatan laut di sana, memulai tradisi calon pemimpin dengan pendidikan Barat, seperti Laksamana Enomoto. Beberapa insinyur angkatan laut Perancis disewa untuk mendirikan gudang senjata, di antaranya adalah Yokosuka dan Nagasaki. Di akhir keshogunan Tokugawa pada tahun 1867, Angkatan laut Jepang dari keshogunan telah memiliki delapan kapal perang bertenaga uap ala Barat disamping Kaiyo Maru, yang digunakan untuk melawan tentara pro-kekaisaran selama Perang Boshin dibawah perintah Laksamana Enomoto. Misi militer Perancis dibangun untuk ikut memodernisasi angkatan darat pemerintahan bakufu.

Para ektremis yang begitu memuja Tenno sebagai simbol kesatuan negeri, melakukan kekerasan dan membunuh banyak orang tak berdosa demi menjatuhkan Bakufu, penguasa han, dan bangsa asing. Pembalasan dari pihak angkatan laut asing pada pertempuran Satsuei, membawa ke arah terciptanya perjanjian perdagangan pada tahun 1865, namun Yoshitomi tidak mampu memenuhi perjanjian tersebut. Tentara pemerintahan bakufu dikalahkan ketika bermaksud menyelesaikan kesalahpahaman di wilayah Satsuma dan Choshū pada tahun 1866. Akhirnya, pada tahun 1867, Tenno Komei meninggal dan diteruskan oleh anaknya yang masih sangat muda Tenno Meiji (Mutsuhito).

Keiki dengan terpaksa menjadi shogun dan kepala dari klan Tokugawa. Dia mencoba untuk menyusun kembali pemerintahan di bawah kekuasaan kaisar sementara dia menjaga peran kepemimpinan shogun. Karena takut akan pertumbuhan kekuatan daimyo dari Satsuma dan Choshū, daimyo lain menuntut pengembalian kekuatan politik yang sebelumnya dimiliki shogun kepada Tenno dan dewan daimyo yang diketuai oleh mantan shogun Tokugawa. Keiki menerima rencana ini pada akhur tahun 1867 dan segera menandatanganinya, dan mengumumkan sebuah ‘restorasi kekasisaran’. Pemimpin Satsuma, Choshū, dan pemimpin han lainnya serta orang dari dkalangan istana yang radikalis, memberontak, merebut istana kekaisaran, dan mengumumkan restorasi yang mereka kobarkan pada tanggal 3 Januari 1868.

Setelah Perang Boshin (1868-1869), pemerintahan bakufu benar-benar dihapuskan, dan Keiki akhirnya dapat disejajarkan dengan para daimyo. Pembalasan kemudian berlanjut ke Utara pada tahun 1868, dan angkatan laut bakufu di bawah perintah Laksamana Enomoto Takeaki bertahan selama enam bulan kemudian di Hokkaido, di mana mereka mendirikan sebuah Republic Ezo yang tidak berumur panjang.

8. PERISTIWA-PERISTIWA
• 1600: Pertempuran Sekigahara. Tokugawa Ieyasu mengalahkan koalisi dari para daimyo dan membangun hegemoni atas kepulauan Jepang.
• 1603: Kaisar melantik Tokugawa Ieyasu sebagai shogun, yang memindahkan pemerintahannya ke Edo (Tokyo) dan membangun dinasti shogun Tokugawa.
• 1605: Tokugawa Ieyasu turun tahta sebagai shogun dan digantikan oleh anaknya Tokugawa Hidetada.
• 1607: Dinasti Yi dari Korea mengirimkan utusan ke Keshogunan Tokugawa.
• 1611: Pulau Ryūkyū menjadi daerah di Sastsuma yang tunduk (vassal state) pada keshogunan.
• 1614: Tokugawa Ieyasu melarang keras agama Kristen di Jepang.
• 1615: Pertempuran Osaka. Tokugawa Ieyasu mengepung Istana Osaka, penentang dari kelompok yang setia pada klan Toyotomi. Kekuasaan Tokugawa menjadi yang tertinggi di seluruh Jepang.
• 1616: Tokugawa Ieyasu meninggal.
• 1623: Tokugawa Iemitsu menjadi shogun ketiga.
• 1633: Tokugawa Iemitsu melarang orang Jepang bepergian ke luar negeri dan membaca buku-buku Barat.
• 1635: Tokugawa Iemitsu menyusun sistem sankin kotai yang mewajibkan daimyo memiliki rumah kediaman sebagai tempat tinggal kedua sewaktu bertugas di Edo.
• 1637: Pemberontakan Shimabara (1637-1638) oleh para petani yang menentang penarikan pajak yang sangat tinggi.
• 1638: Tokugawa Iemitsu melarang pembangunan kapal.
• 1639: Surat perintah untuk penutupan negeri (Sakoku Rei) selesai dibuat. Semua bangsa Barat, kecuali Belanda, dilarang memasuki Jepang.
• 1641: Tokugawa Iemitsu melarang keras semua bangsa asing, kecuali Cina dan Belanda, untuk memiliki hubungan perdagangan dengan Jepang.
• 1650: Dengan damai, telah dikembangkan kemampuan tentara baru yang mulia dan terhormat dan terpelajar sesuai dengan bushido (jalan para samurai).
• 1657: Kebakaran Besar di Meireki menghanguskan hampir seluruh Edo.
• 1700: Kabuki dan ukiyo-e menjadi sangat populer.
• 1707: Mount Fuji meletus.
• 1774: Teks anatomis Kaitai Shinsho, terjemahan lengkap bahasa Jepang pertama dari buku perlatihan medis Barat, dipublikasikan oleh Sugita Gempaku dan Maeno Ryotaku.
• 1787: Matsudaira Sadanobu menjadi anggota dewan senior dan mendirikan Kansei Reforms.
• 1792: Utusan Rusia, Adam Laxman tiba di Nemuro in bagian timur Ezo (sekarang Hokkaido).
• 1804: Utusan Russian, Nikolai Rezanov mencapai Nagasaki dan gagal menjalin hubungan dagang dengan Jepang.
• 1837: Pemberontakan Oshio Heihachiro
• 1841: Reformasi Tempo
• 1854: Amerika Serikat memaksa Jepang untuk menandatangani persetujuan dagang (Persetujuan Kanagawa) yang membuka Jepang untuk bangsa asing setelah penutupan selama dua setengah abad.
• 1855: Rusia dan jepang membangun hubungan diplomatik.
• 1864: Kapal perang Inggris, Perancis, Belanda, dan Amerika membombardir Shimonoseki dan membuka lebih banyak pelabuhan di Jepang bagi bangsa asing.
• 1868: Tokugawa Yoshinobu turun tahta, dinasti Tokugawa berakhir, dan seluruh kekuasaan Tenno (帝, mikado) Meiji dikembalikan, kecuali ibukota Edo/ Tokyo dan atribut kedewaan.

1 comments:

Unknown said...

boleh tau sumber dari mana mas?