9:16 PM

PEMBAHASAN TOSA NIKKI KARYA KI NO TSURAYUKI

Oleh Sandy Arifiadie

Pendahuluan

Nikki Bungaku adalah aliran kesusastraan Jepang yang berkaitan dengan buku harian. Terdapat karya-karya terkenal dalam Nikki Bungaku seperti Tosa Nikki, Kagerou Nikki, dan Murasaki Shikibu Nikki. Meskipun buku harian dimulai sebagai arsip tiruan yang diambil dari buku harian pemerintahan Cina, buku harian pribadi dan buku harian kesustraan muncul dan maju selama zaman Heian (794-1192 M).

Tosa Nikki adalah karya sastra paling terkenal dalam aliran Nikki Bungaku. Karya ini ditulis oleh seorang laiki-laki yang bernama Ki no Tsurayaki, seorang penyair terkenal pada zaman Heian dan salah satu penyusun kumpulan puisi Kokin Wakashuu. Salah satu yang membuat Tosa Nikki menjadi terkenal dan menjadi referensi sastra Tosa Nikki adalah karena karya ini merupakan buku harian pertama yang ditulis secara fiktif.

Pada masa itu, hanya laki-laki yang menulis buku harian. Mereka menulisnya dalam bahasa Cina. Umumnya, membahas urusan kenegaraan atau mengenai pengadilan kerajaan. Kemudian Tsurayuki membuat sebuah percobaan dalam memilih sebuah gaya penulisan baru, yaitu buku harian fiksi di mana dia menyamar sebagai seorang perempuan yang kehilangan anaknya.

Dalam Tosa Nikki, sepenuhnya narator memakai gaya bahasa perempuan, seolah-olah memang ditulis oleh salah satu perempuan yang ikut dalam rombongannya. Encyclopedia Britannica menyatakan bahwa karya ini adalah pioner dari sastra berbentuk buku harian.

Atas dasar fakta-fakta itulah, penulis pun tertarik untuk mengambil Tosa Nikki karya Ki no Tsurayuki untuk dibahas dalam makalah ini.

Pengenalan Pengarang

Ki no Tsurayuki (紀貫之, 872-945 M) adalah seorang penulis, pujangga, dan anggota istana yang hidup pada zaman Heian. Dia dikenal karena pengetahuannya dan keterampilannya dalam berbahasa Jepang dan Cina.

Tsurayuki adalah putra dari Ki no Mochiyuki. Dia menjadi penulis waka pada tahun 890-an. Dia dikenal karyanya yang berupa waka itu dan terhitung sebagai salah satu dari Ketigapuluh Enam Penyair Hebat yang dipilih oleh Fujiwara no Kinto. Sebagian besar syairnya terinspirasi oleh alam, dan mengungkapkan perasaan muram duja atau kesedihan. Keduanya disatukan oleh teknik sindiran yang sering digunakan. Misalnya, sebuat syair ditujukan kepada Mikado Nontoku (313-399 M), nampaknya merupakan puisi alam; tetapi syair itu sebenarnya sebuah nyanyian sindiran. Sang penyair menunjuk pada bunga-bunga musim semi, dan dengan berbuat demikian, dia menunjukkan bahwa sudah waktunya musim dingin yang diselimuti ketidaksenangan untuk memberikan jalan kepada suatu keberhasilan baru.

Waka yang ditulisnya tercakup dalam salah satu antologi puisi Jepang yang penting, Hyakunin Isshu, yang disusun pada abad ke-13 Masehi oleh Fujiwara no Teika, jauh setelah kematian Tsurayuki.

Setelah menjabat di beberapa kantor di Kyoto, ibukota kuna di Jepang, dia ditunjuk sebagai gubernur Provinsi Tosa dan tinggal di sana dari tahun 930 hingga tahun 935. Setelah itu, rupanya dia ditunjuk pula sebagai gubernur Provinsi Suo, dari sana terdengar kabar bahwa dia menulis kumpulan waka (Utaai) di rumahnya di Suo.

Pada tahun 905 M, di bawah pemerintahan Kaisar Daigo, dia menjadi salah satu dari empat penyair yang terpilih untuk menyusun Kokin Wakashuu, sebuah antologi puisi terkenal. Tsurayuki menulis salah satu dari kata pengantar Kokin Wakashuu; yang lainnya dalam bahasa Cina. Kata pengantar darinya merupakan esai kritis pertama pada waka. Dia menulis sejarah dari asal-usul mitologisnya untuk waka kontemporernya, yang dikelompokkan ke dalam genre-genre, yang mengacu pada beberapa penyair besar dan memberikan sedikit kritikan kasar kepada para pendahulunya seperti Ariwara no Narihira.

Dalam kata pengantarnya itu, Tsurayuki membuat klaim meluas untuk puisi-puisi itu—yang disebut menggetarkan langit dan bumi, dan melunakkan hubungan antara laki-laki dan perempuan, serta menyegarkan kembali hati para pejuang. Oleh karena ia melihat antologi itu sebagai sesuatu yang istimewa bagi kemanusiaan, di mana orang-orang bisa bersukacita karena puisi-puisi itu dan mendapatkan manfaat darinya. Dari pembicaraan para penyair yang aktif pada masanya, Tsurayuki dianggap menyentuh beberapa kualitas syair yang penting untuk memunculkan efek: kebenaran, perasaan, substansi, bentuk, diksi yang kaya, minim ketidakjelasan, kekuasaan.

Selain Kokin Wakashuu dan kata pengantarnya, karya sastra terbesar Tsurayuki adalah Tosa Nikki (土佐日記) atau Buku Harian Tosa, yang ditulis menggunakan huruf kana. Isinya melukiskan secara panjang lebar perjalanan pada tahun 935 M kembali dari Kyoto ke provinsi Tosa, di mana Tsurayuki menjadi gubernur.

Latar Belakang Karya

Sekitar tahun 935 M di Jepang, seorang laki-laki yang baru kembali ke Kyoto, ibukota kuna di Jepang, setelah menghabiskan waktu selama lima tahun sebagai seorang Gubernur Provinsi Tosa (土佐国), sebuah daerah tersebut yang sudah berganti nama menjadi Daerah Administrasi Kouchi, di pulau Shikoku, dia menulis, “Aku mendengar para laki-laki menulis buku harian. Untuk melihat apa yang bisa seorang perempuan lakukan, aku juga akan mencoba menulisnya sekali.” Karena itulah, setelah menyelesaikan Kokin Wakashuu, Tsurayuki pun melakukan sebuah percobaan dalam memilih sebuah gaya penulisan baru, yaitu buku harian fiksi berjudul Tosa Nikki.

Pada masa itu, hanya laki-laki yang menulis buku harian. Kemelekan huruf saat itu memiliki batasan gender. Umumnya, orang-orang yang berada dalam lingkungan pemerintahan menulis buku harian atau lebih seperti jurnal resmi dalam bahasa Cina yang saat itu merupakan bahasa resmi pemerintahan. Umumnya, mereka menulis dengan menggunakan huruf Cina mengenai berbagai urusan kenegaraan atau mengenai pengadilan kekaisaran, bukan mengenai kehidupan pribadi mereka.

Ki no Tsurayuki yang merupakan seorang pejabat tinggi pemerintahan, sekaligus penyair dan penulis, tentunya menguasai bahasa Cina, bahasa resmi dalam setiap catatan tertulis. Dia juga memahami huruf hiragana, huruf yang melambangkan bunyi dalam setiap suku kata (mora). Tetapi hiragana masih dianggap tidak resmi dan cenderung feminin serta dianggap hanya milik kaum yang “tidak berpendidikan” saat itu. Karena itulah disebut juga Onnade, atau ‘(tulisan) tangan perempuan.’ Sedangkan, kaum laki-laki, dalam pemerintahan dan dalam penempatan sosial lain yang penting, menggunakan Otokode, atau ‘(tulisan) tangan laki-laki.’

Perlu disebutkan pula bahwa Murasakishikibu (973-sekitar 1014 atau 1025) yang menulis Genji Monogatari (Kisah Genji) dan Seishonagon (965-1010) yang menulis Makurano Soshi (Kitab tentang Bantal) juga mengenal huruf Cina dengan sangan baik.

Mengapa Tsurayuki tertarik dengan tranvestisme dalam karya sastra ini? Bagaimanapun, Ki no Tsurayuki menggunakan hiragana karena huruf itu hanya digunakan oleh perempuan, tokoh yang dia pakai untuk menyamar dalam karyanya itu. Agaknya dia hendak mencoba untuk melepaskan dirinya sendiri dari belenggu kehidupan nyata. Tema utama dalam karyanya ini adalah perasaan seseorang, seperti ekspresi kesedihan atau kehilangan seorang anak perempuan dan sindiran bagi masyarakat saat itu. Untuk tema seperti ini, hiragana dianggap sangat mewakili. Tetapi karena huruf itu hanya dipakai oleh perempuan, sehingga dia pun merasa harus menyamar sebagai seorang perempuan.

Dengan demikian, Tsurayuki memilih metode ekspresi ini karena tema sentral dari buku harian ini bukanlah perjalanannya, melainkan kesedihan atas kematian putrinya di Tosa. Pada awal tulisan, kematian putrinya itu tidak disebutkan dan adegan perjalanan dijelaskan dengan gaya yang lucu tapi agak serius. Kemudian dalam tulisan selanjutnya, gadis meninggal dan kesedihan atas ketiadaannya digambarkan.

Dalam penyamarannya menjadi perempuan itu, Tsurayuki menjadi seorang perempuan, yaitu sebagai istrinya. Dia menulis tentang perjalanan kembalinya mereka ke ibukota Heian-kyou (平安京) dari Provinsi Tosa, tempat di mana Tsurayuki menjabat sebagai gubernur. Dalam Tosa Nikki, Tosa adalah sebuah daerah yang dikenal akan kekayaan ikan dan hidangan lautnya yang melimpah. Wilayahnya sebagian besar masih terbelakang. Mereka meninggalkan Tosa pada bulan ke dua belas tahun 934 dan kembali ke daerah asalnya di ibu kota 55 hari setelahnya, pada bulan ke dua tahun 935.

Di bawah ini merupakan peta perjalanan yang dilalui oleh narator Tosa Nikki, alias Tsurayuki sendiri:

Meskipun perjalanannya sebagian besar merupakan sebuah harapan akan keceriaan karena kembali ke kehidupan asal mereka di kota yang ramai, namun pada saat bersamaan, mereka telah kehilangan harta yang paling berharga bagi hidup mereka, yaitu anak perempuan mereka. Denagan alasan-alasan yang tidak spesifik disebutkan, anak perempuan mereka tiba-tiba meninggal. Dengan demikian, meskipun perjalanan pulang merupakan saat yang menyenangkan, tetapi juga diiringi oleh perasaan yang sangat sedih dan kehilangan yang tidak kunjung hilang.


Pendalaman Karya

Dalam Tosa Nikki, hal terbaik yang dilakukan Tsurayuki yaitu berpikir untuk menggambarkan perasaan emosional akan rasa kehilangan seorang anak yang telah dialaminya. Dengan mengungkapkannya dengan ragam bahasa perempuan pada peristiwa tersebut, dia membuat semuanya yang ada tertulis terkesan nyata dari sudut pandang seorang perempuan.

Sebuah percobaan dalam fiksi penyamaran gender merupakan hal pertama kalinya dalam sejarah kesusastraan Jepang, di mana seorang laki-laki mencoba menulis dalam ungkapan seorang perempuan. Tosa Nikki merupakan buku harian fiksi pertama dari sekian banyak kesusastraan tradisional Jepang.

Dari Tosa Nikki, kita bisa mengambil hal-hal penting yang menjadi pokok di dalamnya, yaitu: Pertama, karena seorang laki-laki mencoba untuk menulis sebuah buku harian dengan penyamaran sebagai perempuan, dalam cerita ini sebagai istrinya. Karya tersebut dijadikan cerita fiksi melalui media penyamaran gender. Namun karena tidak setiap peristiwa dalam perjalanan tersebut dituliskan, teks tersebut dijadikan cerita fiksi kembali, sehingga setiap kata dalam Tosa Nikki dipilih secara baik-baik dan diperhalus menjadi sebuah teks kesusastraan setelah Tsurayuki sampai di Kyoto. Kesasusastraan ini dikenal sebagai fiksi dari kebudayaan asli Jepang.

Kedua, kualitas dari Tosa Nikki ini dipertinggi dengan tambahan dari jumlah puisi yang banyak, Sesuatu yang alami dengan mempertimbangkan latar belakang dan sensivitas pengarang, apalagi Tsurayuki membuat usaha untuk memasukan puisi dari semua jenis penulis, termasuk anak-anak serta dari beberapa mereka yang naif, sederhana, bahkan menjemukan.

Ketiga, dalam bagian prosa tidak hanya berdasarkan fakta, tetapi juga menjurus ke arah kritik.

Keempat, kita bisa ikut dalam pemikiran dan perasaan seorang istri mengenai kehilangan anak perempuannya, mengenai bagaimana dia menemukan jalan untuk menyadari kesedihannya untuk menggambarkan semua itu secara internal; dan akhirnya sampai ke daerah asalnya di Kyoto, untuk menempatkan obyek yang alami pada tamannya dengan kenangan sehingga membuat pemindahan emosi pada obyek yang akan tersisa selamanya.

Tema yang dicoba untuk diangkat pada Tosa Nikki yaitu mengenai perjalanan kembali menuju sumber kesenangan (menuju kampung halaman) dan perjalanan dalam sumber kesedihan (kematian dan kehilangan). Penulis menyebut semua hal tersebut dalam dua bentuk bagian contoh:

Pertama, fuudo (風土), sebuah tema dari sebuah empati dengan lingkungan alam, tempat sepanjang perjalanan pada Tosa Nikki dan minggu kedua Ninjou (人情), pada sebuah tema penggambaran perasaan.

Kita akan menbahas mengenai kedua hal tersebut satu per satu. Pertama mengenai fuudo (風土). Di hari kesembilan pada bulan pertama, kapal meninggalkan tepi laut dan menempuh untuk membuka lautan. Pada puisi di bawah ini terdapat kata dengan dua makna, kaketoba (掛け言葉), yang berkenaan dengan laut untuk melindungi emosi:

“Tiada kurir yang kami miliki, walau dengan berat hati kami pergi meninggalkan, mungkin mereka tidak pernah tahu kesedihan ini.” (Kenee 85)

思ひやる、心は海を、渡れども、ふみしなければ、知らずやあらむ。

(Secara harfiah: hati diserahkan untuk lautan tetapi kasih sayang hanya untuk tepi pantai, jika di sana tidak ada lagi surat (fumi) atau langkah di atas daratan (fumi), siapa yang tahu? Dan pada apa pula kami bergantung?)

Dengan seketika kapal telah melewati pohon-pohon cemara, menutupi pantai dari sebuah tempat yang dinamakan uta.

Pohon cemara (matsu ) juga bermakna menunggu (matsu 待つ), sedangkan uta bermakna puisi. Jadi hasilnya sebuah puisi dari sebuah kapal mengenai puisi dari masa menunggu:

“Sejauh mata memandang, di atas tiap-tiap pohon cemara, di sana beristirahat seekor burung bangau..” (Kenee 85)

見渡せば、松のうれごとに、住む

(Secara harfiah: lihat sekeliling dan tidak ada satu orang pun yang dapat membantu berpikir burung-burung bangau yang tinggal di atas pohon cemara yang mungkin akan menjadi teman kita untuk seratus zaman. Puisi ini membawa keabadian pemandangan debagai jimat yang dapat melindungi pada penyair di atas kapal. Semua itu adalah harapan untuk keberuntungan perjalanan, bukan sebuah intesitas emosi).

Kebanyakan dari puisi-puisi dibawah ini terdapat variasi pada kata untuk kesedihan seperti kanashimi, kanashiki, kanashikarikeri, kanshisa).

Indikasi awal permasalahan kematian putrinya menyebabkan kejadian pada ibu pada awal keberangkatan saat persiapan akhir. Kedua puisi di bawah ini menunjukan bahwa bakan berpikir mengenai anaknya adalah sesuatu yang menyakitkan, dan disana tidak ada satu orang pun yang mampu membuat ibu tersebut berani untuk bertanya di manakah dia berada:

“Di perbatasan Kyoto, pikiran ini masih terasa berat. Bersama kesedihan untuk seseorang yang tidak akan pernah kembali.”

都へと、思ふをものの、悲しいきは、帰らない人は、あればなりけり。

(Catatan: meskipun kenyataan bahwa anaknya yang hanya memiliki hidup satu kali dan sekarang telah pergi secara berangsur-angsur memudar dari alam sadar, semua itu merupakan proses berpikir yang menyakitkan (kanashikarikeru 悲しかりける) di mana setiap orang yang suatu saat melihat putrinya, katakan di mana putrinya berada.)

Setelah tahun baru datang, ibu memulai untuk menulis sebuah puisi yang dia memulai untuk datang dan menggenggam serta masalahh kesedihannya. Dia mulai kehilangan anaknya dan secara aktif berpikir mengenai kehilangannya itu, juga tidak bisa tahu bagaimana mengendalikan semua itu:

“Selama aku berpikir kembali pada hal terbaik dalam hidupku, tidak ada pemikiran cinta yang menyamai saat berpikir mengenai kehilangan seorang anak.”

世の中に、思ひやれども、子を恋ふる、思ひなきかな。

Di bulan kedua, kapal yang ditumpangi tidak bisa bergerak karena cuaca yang buruk dan ibu berhenti mengumpulkan kerang-kerang dari pantai. Kerang yang terlupakan dari puisi mengarah pada kata ‘wasuregai’. Dua puisi di bawah ini menunjukkan bahwa kesedihan dipindahkan kepada obyek. Kerang-kerang merupakan metonim bagi harapan ibu untuk melupakan:

“Bersihkan kerang-kerangmu dari kapalku, oh ombak! Aku akan mengumpulkan kerang-kerang yang terlupakan untuk seseorang yang aku cinta.” (Keene 89)

よする渡、うちもよせなむ、わが恋ふる、人忘れ(貝、甲斐)、降りて拾わむ。

“Aku akan mengumpulkan bukan hanya kerang-kerang yang terlupakan, tetapi juga batu permata. Tanda mata batu permata ini seperti seseorang yang aku cinta.” (Keene 89)

忘れがひ、拾いしもせじ、自玉を、恋ふるをだにも、形見と思はむ。

(Catatan: kedua puisi di atas seperti puisi yang berasal dari orang yang berbeda, di mana puisi pertama merupakan puisi yang berasal dari ibu, sedangkan puisi kedua dari ayah. Padahal puisi kedua hiperbola belaka sementara puisi pertama melanjutkan proses pemindahan perumpamaan, ibu telah menjalani semuanya.)

Di bagian lainnya dalam Tosa Nikki, persis setelah melabuh di daratan, ibu memiliki waktu untuk membuka rahasia yang ada:

“Meskipun saya tidak memiliki siapa pun, mereka yang memiliki anak telah kembali. Fakta telah kembali adalah perasaan sakit yang menjelma pada seseorang pada siapapun.”

なかりしも、ありつつ帰る、人の子を、ありしもなくて、来るが悲しさ。

(Catatan : Proses yang menyakitkan telah diubah menjadi sebuah kesakitan yang sesungguhnya (kanashisa) yang membuat ibu dapat lebih mudah berkompromi dengan pemikirannya.)

Pada akhir Tosa Nikki, ibu terlihat menabur benih pohon cemara (komatsu) di sekeliling kolam yang ada di tamannya, di kampung halaman mereka. Kepada pohon cemara tersebut, dia berjanji akan melupakan kesedihan dan kehilangannya. Komatsu juga berarti menunggu sang anak.

“Ketika seseorang, yang memiliki daerah ini tidak kembali lagi, betapa sedihnya melihat beberapa cemara muda!” (Keene 91)

生まれしも、帰らぬものを、我が宿に、小松を有るを、見るが悲しさ。

(Catatan: Proses memandangi pohon cemara muda menjadi kepedihan yang sejati yang ibu dapat pindahkan pada pohon-pohon cemara muda tersebut.)

“Seseorang yang aku kenal, andai ia adalah pohon cemara yang terus berumur panjang! Apa yang diinginkan setelah itu terhadap ucapan selamat tinggal yang memilukan?” (Keene 91)

みし人の、松の千歳に、みましかば、遠く悲しき、別れせましや。

(Catatan: ini adalah puisi terakhir pada buku harian, ibu telah berhasil untuk menempatkan anak perempuannya pada konteks pohon cemara yang hidup ribuan tahun, sebagai sebuah metonimi untuk anaknya, tidak perlu lagi mengingat kembali kepedihan yang telah dirasakannya. Proses pemulihan dari kepedihannya ini telah berakhir.)

Pengaruh Karya

Perlu dicatat bahwa Tosa Nikki merupakan buku harian dalam huruf kana paling tua yang tersisa. Beberapa abad setelah penerbitannya, Tosa Nikki disalin ulang oleh Fujiwara no Teika (1162-1241). Saat ini karyanya itu disimpan di Museum Koleksi Kekaisaran.

Tosa Nikki adalah karya yang ditulis dengan luar biasa baik dan sampai saat ini terus menyimpan pengaruh besar dalam banyak karya sastra berbentuk buku harian lainnya di kemudian hari, seperti: Tonbo Nikki (蜻蛉日記), Izumi Shikibu Nikki (和泉式部日記), Murasaki Shikibu Nikki (紫式部日記), Sarashina Nikki (更級日記), dan sebagainya. Karya ini juga dianggap sebagai pelopor bagi sastrawan dari kaum perempuan (Jouryuu Bungaku 女流文学). Banyak pemerhati sastra dari kalangan universitas dan non-universitas, baik di Jepang maupun di luar Jepang, yang terus menggali karya terbesar Ki no Tsurayuki abad ke-10 ini. Karya ini tetap menjadi bacaan menarik bagi mereka yang menyukai produk sastra, tidak hanya di kalangan tua.

Kebanyakan peneliti yang telah lama memercayai bahwa Tsurayuki melakukan penyamaran sebagai perempuan, ini adalah asumsi mereka bahwa huruf kana biasanya dipakai oleh perempuan pada zaman Heian. Namun, pada tahun 2006, Hideo Komatsu (小松英雄) menerbitkan sebuah buku berjudul Kotensai-nyuumon (古典再入門, Pengenalan Kembali Sastra Klasik Jepang), yang di dalamnya dia mengemukakan suatu teori baru yang berkaitan dengan Tosa Nikki. Dalam teorinya, Tsurayuki sama sekali berkedok sebagai seorang perempuan, dan kalimat pertama hanyalah bagian yang menyatakan bahwa dia tidak akan menulis dengan kanji, tetapi dengan kana. Meskipun begitu, teorinya ini diabaikan oleh kebanyakan peneliti.

Kesimpulan

Dari tahun 930 M (tahun 8 Enchou) hingga 934 M (tahun 4 Jouhei), Tsurayuki yang menjadi gubernur Provinsi Tosa melakukan perjalanan selama 55 hari dari Tosa ke Kyoro setelah masa jabatannya habis. Setelah melalui suatu proses pemikiran, Ki no Tsurayuki memutuskan untuk menulis sebuah karya sastra berbentuk buku harian di mana dia menyamar menjadi seorang perempuan sebagai tokoh utamanya. Isi dari karyanya itu menceritakan banyak hal, namun yang menjadi tema inti adalah ingatan kesedihan akan hilangnya seorang gadis perempuan yang menjadi buah hatinya. Perasaannya yang mendalam ini tertuang ke dalam 57 bait waka dengan penuh permainan kata.

Dalam sejarah kesusastraan Jepang, mungkin inilah karya sastra aliran Nikki Bungaku pertama yang pernah tertulis. Meski begitu, pengaruhnya terhadap elemen karya sastra berbentuk buku harian kontemporer sangatlah terasa. Ekspresi yang kuat yang muncul dari Tosa Nikki, menjadi pembangkit bagi kesusastraan Jepang, khususnya menjadi tongak atau rintisan bagi sastrawan dari kaum perempuan (Jouryuu Bungaku 女流文学). Kemungkinan bahwa Tosa Nikki ini memengaruhi karya sastra seperti: Tonbo Nikki (蜻蛉日記), Izumi Shikibu Nikki (和泉式部日記), Murasaki Shikibu Nikki (紫式部日記), Sarashina Nikki (更級日記), dan sebagainya sangat besar. Mengingat begitu besarnya arti karya ini, Tosa Nikki yang juga dituliskan dengan humor dan permainan kata ini, patut diberi tempat terhormat dalam sejarah kesusastraan Jepang.

Referensi

Paul K Lyons, 2008, Tsurayuki, Ki no ___ 872-945 ___ Japanese ___ poet, diplomat, The Diary Juction, http://www.pikle.co.uk/diaryjuction.html

http://ja.wikisource.org

http://en.wikipedia.org

http://orange.zero.jp/teru.oak/gakusyu/tosa/

http://www.aozora.gr.jp/cards/000155/card832.html

http://www.takachiho.ac.jp/%7Eeshibuya/tosa3.html

*) Penulis adalah mahasiswa angkatan 2007 Sastra Jepang S1 di Universitas Padjadjaran, Bandung.

(www.mochihotoru.co.cc)

1 comments:

Unknown said...

Permisi ka saya mau tanya. Perihal istri ki no tsurayuki dan anaknya yg meninggal itu kisah nyata atau fiksi?