8:17 PM

Jepang dan Apresiasi Budaya Asing

”Selain orang Jepang adalah musuh”. Ajaran demikian itu ditanamkan oleh pemerintah fasis dan militer Jepang kepada para pelajar sampai 1945. Bahkan, setelah Perang Dunia II usai, ketika tentara sekutu datang ke Jepang, bangsa Jepang masih bersikap memusuhi orang asing atau gaikokujin. Lambat laun, mereka menyadari bahwa kebijakan pemerintah ini keliru besar.

Sejak itu, lembaga-lembaga swasta banyak mengambil inisiatif melakukan diplomasi kebudayaan, melakukan muhibah ke luar negeri dan mendatangkan delegasi asing ke Jepang. Mereka menyadari ternyata orang asing itu memiliki sejumlah sifat terpuji dan layak dijadikan contoh. Singkatnya, orang asing itu tidak sejelek yang mereka pikirkan.

Sebagai pihak yang paling merasakan pedihnya dijatuhi bom atom, rakyat Jepang menyadari buruknya dampak perang dan berupaya untuk menghindarinya. Berbagai organisasi swasta mengambil inisiatif mempertemukan bangsa-bangsa di dunia lewat pertunjukan kesenian dan kebudayaan pada umumnya. Inisiatif demikian itu mendapat dukungan pemerintah kota, kabupaten, provinsi, atau pusat. Setiap pemerintahan kota lazimnya menyediakan dana hubungan luar negeri, khususnya untuk program pertukaran kebudayaan.

Pada tahun 1964, Jepang dipercaya menjadi tuan rumah Olimpiade Dunia. Berbagai infrastruktur, seperti jalan kereta api, jalan tol, dan fasilitas lainnya dibangun. Kepercayaan dunia ini membuat orang Jepang semakin percaya diri dan bekerja keras sehingga tumbuh menjadi raksasa ekonomi di Asia. Kini, bangsa Jepang sering digambarkan sebagai bangsa yang hidupnya serba berkecukupan, pintar, kompetitif, ulet, dan bangga dengan budaya sendiri.

Namun, pada sisi lain, hidup mereka menjadi serbamekanis, serbacepat, serba kekurangan waktu sehingga hampir tidak ada waktu bagi keluarga untuk bercengkerama. Hubungan orang tua dan anak menjadi kaku. Selain itu, anak pun seolah tidak merasa berkewajiban untuk berbakti, menyayangi orang tua yang sudah lanjut usia. Beberapa kalangan terdidik menyadari hal ini dan berupaya untuk memperbaikinya, seperti yang sudah dan sedang dilakukan oleh organisasi swasta The Osaka in the World Committee.

Diprakarsai oleh Yamanisi Ippei dan Nakahasi Masami pada tahun 1989, The Osaka in the World bercita-cita ingin membangun saling pengertian antarbangsa melalui pendekatan kebudayaan. Setiap September, mereka mendatangkan tim kesenian asing untuk tampil di beberapa kota di Jepang. Pada tahun 1992, grup kesenian Laras Rumingkang dari UPI tampil di sepuluh kota di Provinsi Osaka.

Pada November 2009, The Osaka in the World memperingati ulang tahunnya yang ke-20 dengan mendatangkan delegasi dari 20 negara. Negara-negara itu, yakni Argentina, Brasil, Bulgaria, Georgia, India, Indonesia, Irlandia, Jepang, Korea, Malaysia, Meksiko, Mongolia, Nepal, Selandia Baru, Peru, Rusia, Sri Lanka, Thailand, Turki, dan Vietnam. Mereka mendatangkan grup kesenian Uda Ondo dari Argentina yang berkeliling ke berbagai kota di Jepang.

Selama sebulan penuh rombongan kesenian itu, juga semua delegasi asing dari 20 negara itu, tinggal bersama keluarga Jepang yang disebut host family atau hosuto famili. Lewat program ini, delegasi asing dapat mempelajari budaya Jepang, bertukar pikiran untuk saling memahami dan menghargai budaya lain. Para delegasi juga diajak mengunjungi berbagai situs kebudayaan dan objek wisata. Bagi saya sebagai perwakilan Indonesia homestay di keluarga Jepang ini terasa paling mengesankan.

Dari pengamatan langsung, berdiskusi, dan bergaul dengan masyarakat Jepang, saya berkesimpulan bahwa apresiasi mereka terhadap seni sangat tinggi. Auditorium tempat pertunjukan di Kota Kawachinagano pada 27 November 2009, hampir penuh oleh penonton sampai pertunjukan usai. Para penonton, selain membeli karcis, juga memborong berbagai macam cendera mata asal Argentina yang uangnya disalurkan untuk merenovasi satu rumah sakit di daerah pedalaman di Argentina.

Ini mengingatkan saya tahun 2006 ketika Yogyakarta digoyang gempa. Masyarakat Jepang melalui KBRI di Tokyo menggalang dana bantuan. Saya terharu dengan empati orang Jepang terhadap korban gempa itu. Beberapa orang Jepang menguras tabungan mereka. Bahkan, ada yang berkaki roda datang dari jauh menyerahkan sumbangannya ke KBRI di Tokyo.

A. Chaedar Alwasilah
(Sumber: newspaper.pikiran-rakyat.com)

0 comments: