Tulisan ini adalah draft tulisan bulan Juni tahun lalu. Saya sering mempunyai ide-ide menulis dan untuk sementara karena tidak ada waktu, hanya saya tulis judulnya dan simpan dalam bentuk draft.
Dalam seminar PDP yang diadakan setiap hari Selasa malam, suatu kali kami membahas tentang kebijakan zero tolerance dalam pendidikan Jepang.
Kebijakan zero tolerance pada awalnya muncul di USA sebagai bagian dari hukum kriminal atau pengadilan. Sejarah tentang zero tolerance saya kutipkan sedikit dari wikipedia. Zero tolerance dicetuskan pada tahun 1994. Teori ini lahir sebagai kelanjutan dari Teori Broken Windows yang diperkenalkan oleh James Q. Wilson dan George L.Killing pada tahun 1982. Teori Broken Windows adalah sebuah konsep mengantisipasi vandalism atau kriminal. Diibaratkan bahwa apabila sebuah jendela dirusak, maka tindakan vandalisme selanjutnya dapat diperkecil dengan segera memperbaiki kerusakan tersebut. Jika tidak dilakukan perbaikan terhadap jendela yg rusak, maka kondisi jendela rusak itu akan mendorong pelaku untuk merusakkan/memecahkan kaca jendela yang lainnya.
Adapun teori Zero Tolerance adalah mengabaikan segala bentuk perbaikan dan belas kasihan kepada para pelaku kriminal, dan lebih memilih penerapan hukum yang saklek, tanpa tedeng aling-aling. Dengan kata lain, toleransinya nihil !
Konsep zero tolerance diperdebatkan sebagai konsep yang cukup akurat untuk mengantisipasi aktivitas bullying (ijime) yang merebak di sekolah-sekolah Jepang. Konsep ini dipergunakan di USA untuk menghadapi anak-anak yang bermasalah. Sekolah-sekolah berhak mengeluarkan anak-anak seperti ini. Beberapa waktu lalu, sekolah-sekolah Jepang tidak mempunyai hak untuk mengeluarkan anak-anak yang bermasalah, sehingga boleh dikatakan anak yang dikeluarkan dari sekolah di Jepang adalah nihil. Orang Jepang berprinsip bahwa pendidikan anak adalah tanggung jawab sekolah, dan oleh karenanya anak yang melakukan ijime dianggap sebagai akibat pendidikan yang gagal diterapkan di sekolah.
Berbeda dengan di Indonesia, anak-anak yang melakukan tindakan amoral di sekolah diekspos secara besar-besaran oleh media massa, sementara pihak sekolah berusaha menutupinya karena akan mencemari nama baik sekolah. Saya pikir sekolah pada saat itu hanya berfikir untuk kepentingan sekolah. Adapun di Jepang, nama pelaku ijime harus disembunyikan dan tidak boleh ditampilkan di media apabila masih di bawah umur. Pihak keluarga atau bahkan pihak sekolah yang diwawancarai di TV umumnya tidak ditampakkan secara penuh, misalnya dengan wajah yang diburamkan sama sekali atau suara yang diubah.
Karena merebaknya kasus ijime yang bahkan mengarah pada meningkatnya jumlah anak yang melakukan bunuh diri, pakar pendidikan mengajukan konsep zero tolerance. Artinya anak-anak pelaku ijime seharusnya dikeluarkan dari sekolah atau sekolah tidak memberikan keleluasaan bergerak kepadanya.
Tetapi pakar pendidikan yang lain mengutarakan argumen, seandainya ini diterapkan, bagaimanakah nasib si pelaku ijime selanjutnya ? Siapa yang akan mengubahnya menjadi berperilaku baik ? Apakah hanya orang tuanya yang bertanggung jawab ?
Memang sangat berbeda konsep berfikir orang Amerika dan orang Jepang. Jika di Amerika individualistik sangat menonjol, dan bahkan kesempatan mendidik sendiri anak-anak melalui program home schooling pun didukung oleh pemerintah, di Jepang, masyarakatnya masih beranggapan bahwa pendidikan adalah beban pemerintah untuk menyelenggarakannya dan tanggung jawab pendidikan seorang anak adalah tanggung jawab semuanya. Oleh karena itu mengeluarkan anak dari sekolah harus diantisipasi dengan menyediakan lembaga pendidikan baru untuk si anak.
Hukuman memang harus diberikan kepada si pelaku kejahatan. Tetapi bagaimana agar hukuman tersebut membuat pelaku dan orang-orang sekitarnya menjadi sadar dan mengubah diri menjadi lebih baik, itu yang harus dipikirkan.
(sumber: http://murniramli.wordpress.com)


 





Dari mengamati perilaku kehidupan masyarakat Jepang, sebenarnya tergambar bagaimana sebuah komunitas terdidik terlahir dari suatu sifat dan sikap yang sederhana. Yang pertama mari kita lihat bagaimana orang Jepang mengedepankan rasa “malu”. Fenomena “malu” yang telah mendarah daging dalam sikap dan budaya masyarakat Jepang ternyata membawa implikasi yang sangat luas dalam berbagai bidang kehidupan. Penulis cermati bahwa di Jepang sebenarnya banyak hal baik lain terbentuk dari sikap malu ini, termasuk didalamnya masalah penghormatan terhadap HAM, masalah law enforcement, masalah kebersihan moral aparat, dsb.
Bagaimana masyarakat Jepang bersikap terhadap peraturan lalu lintas adalah suatu contoh nyata. Orang Jepang  lebih senang memilih memakai jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan raya. Bagaimana taatnya mereka untuk menunggu lampu traffic light menjadi hijau, meskipun di jalan itu sudah tidak ada kendaraan yang lewat lagi. Bagaimana mereka secara otomatis langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan, pembelian ticket kereta, masuk ke stadion untuk nonton sepak bola, di halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.
Hal menarik berikutnya adalah bagaimana orang Jepang berprinsip sangat “ekonomis” dalam masalah perbelanjaan rumah tangga. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Sekitar 8 tahun yang lalu, masa awal-awal mulai kehidupan di Jepang, penulis sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekitar pukul 19:30. Selidik punya selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00. Contoh lain adalah para ibu rumah tangga yang rela naik sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 10 atau 20 yen. Juga bagaimana orang Jepang lebih memilih naik densha (kereta listrik) swasta daripada densha milik negeri, karena untuk daerah Tokyo dan sekitarnya ternyata densha swasta lebih murah daripada milik negeri. Dan masih banyak lagi contoh yang sangat menakjubkan dan membuktikan bahwa orang Jepang itu sangat ekonomis.
Sifat berikutnya adalah masalah “sopan santun dan menghormati orang lain”. Masyarakat Jepang sangat terlatih refleksnya untuk mengatakan gomennasai (maaf) dalam setiap kondisi yang tidak mengenakkan orang lain. Kalau kita berjalan tergesa-gesa dan menabrak orang Jepang, sebelum kita sempat mengatakan maaf, orang Jepang dengan cepat akan mengatakan maaf kepada kita. Demikian juga apabila kita bertabrakan sepeda dengan mereka. Tidak peduli siapa yang sebenarnya pada pihak yang salah, mereka akan secara refleks mengucapkan gomennasai (maaf).














