6:12 PM

MENELUSURI ZAMAN TAISHO

Zaman Taisho (大正時代 Taishou jidai, "Zaman Keadilan Agung"), atau Era Taisho, merupakan zaman dalam sejarah Jepang yang dimulai sejak 30 Juli 1912 hingga 25 Desember 1926, bertepatan dengan mulai berkuasanya Kaisar Taisho. Kesehatan kaisar baru ini sangatlah lemah, sehingga mendorong pergeseran kekuatan politik dari kelompok negarawan tua (atau genrou) ke Diet Jepang dan partai-partai demokratis. Dengan demikian, zaman ini dianggap awal masa berdirinya gerakan liberal bernama Demokrasi Taisho di Jepang; istilah ini sering digunakan untuk dibandingkan dengan kesemrawutan zaman Meiji dan tahun-tahun pertama zaman Showa setelahnya yang penuh militerisme.

1. WARISAN ZAMAN MEIJI
Pada tanggal 30 Juli 1912, Kaisar Meiji meninggal dunia dan Putra Mahkota Yoshihito naik tahta dan menjadi kaisar baru bagi rakyat Jepang, memulai zaman Taisho. Akhir zaman Meiji ditandai dengan mengalirnya investasi domestik dan asing besar-besaran dari pemerintah dan dimulainya program pertahanan, yang hampir saja menghabiskan anggaran negara, dan kurangnya bank-bank cadangan asing yang membayar utang.

Pengaruh kebudayaan asing yang dirasakan pada zaman Meiji berlanjut. Kobayashi Kiyochika mengadopsi gaya melukis Barat di samping melukis dalam ukiyo-e. Okakura Kakuzo memiliki minat terhadap lukisan tradisional Jepang. Mori Ogai dan Natsume Soseki melanjutkan sekolah di Barat dan memperkenalkan lebih banyak pandangan modern mengenai kemanusiaan.

Banyak kejadian yang mengalir sejak Restorasi Meiji pada 1868 telah menjumpai tak hanya pemenuhan dari banyak sasaran hasil politik dan ekonomi domestik dan asing––tanpa menderita penjajahan seperti bagsa Asia lainnya––tetapi juga sebuah pandangan intelektual baru, tepat saat masyarakat dunia gencar membicarakan masalah sosialisme dan proletariat urban tengah berkembang pesat. Hak pilih laki-laki, kesejahteraan sosial, hak buruh, dan protes tanpa kekerasan merupakan cita-cita bagi gerakan aliran kiri pada masa awal. Penindasan pemerintah terhadap kubu sayap kiri dan aktivitasnya, bagaimanapun, mengarah kepada semakin hebatnya aksi radikal aliran sayap kiri ini dan penindasan yang lebih hebat pula, menghasilkan pembubaran Partai Sosialis Jepang (日本社会党 Nihon Shakaitō) hanya setahun setelah pendiriannya pada tahun 1906 dan kegagalan gerakan sosialis secara umum.

Permulaan zaman Taisho ditandai oleh krisis politik Taisho pada tahun 1912-1913 yang mengganggu kesepakatan politik yang ada. Ketika Saionji Kinmochi mencoba untuk memotong anggaran militer, menteri angkatan darat mundur, menjatuhkan kabinet Rikken Seiyukai. Baik Yamagata Aritomo maupun Saionji menolak untuk menempati posisi yang ditinggalkan itu, dan genro tak dapat menemukan solusi. Penghinaan masyarakat terhadap manipulasi militer di kabinet dan penjatuahn Katsura Taro pada masa jabatan ketiga mengarah kepada semakin banyaknya permintaan untuk mengakhiri politik genro. Meskipun dihalangi kekuatan oposisi, kekuatan konservatif membentuk sebuah partai sendiri pada tahun 1913, Rikken Doshikai, sebuah partai yang memenangkan mayoritas di Diet mengalahkan Seiyukai di akhir 1914.
Pada 12 Februari 1913, Yamamoto Gonbei menggantikan Katsura sebagai perdana menteri. Sedangkan pada bulan April 1914, Okuma Shigenobu menggantikan Yamamoto.

2. PERANG DUNIA I DAN HEGEMONI DI CINA
Setelah merampas kesempatan yang dimiliki Berlin dalam Perang Eropa (yang segera berubah menjadi Perang Dunia I) dan bermaksud memperluas lingkungan pengaruhnya di Cina, Jepang mendeklarasikan perang terhadap Jerman pada 23 Agustus 1914, dan dengan cepat menduduki daerah yang dilepaskan Jerman di Provinsi Shandong di Cina serta kepulauan Mariana, Caroline, dan Marshall di Laut Pasifik. Pada 7 November, Jiaozhou menyerah kepada Jepang.

Bersama sekutu-sekutu Baratnya yang terlibat dalam perang di Eropa, Jepang berusaha lebih jauh mengonsolidasikan posisinya di Cina dengan mengajukan Tuntutan Duapuluh-Satu (Bahasa Jepang: 対華二十一ヶ条要求; Bahasa Cina: 二十一条) kepada Cina pada bulan Januari 1915 disertai peringatan akan dampak yang mengerikan jika Cina tidak menyetujuinya. Di samping memperluas kendali di wilayah kekuasaan Jerman, Manchuria dan Mongolia Dalam, Jepang pun berusaha ikut serta dalam kepemilikan sebuah kompleks tambang logam terbesar di Cina tengah, pelarangan terhadap penyerahan dan penyewaan daerah pantai dari Cina kepada pihak ketiga dan kekuatan militer, ekonomi, dan politik lain, yang jika diterima akan mengurangi pengaruh Jepang di daerah itu. Karena lambatnya negosisasi dengan pemerintah Cina, sentimen anti-Jepang meluas di Cina serta pengapkiran internasional terhadap Jepang untuk menarik lima kelompok Tuntutan Duapuluh Satu dan perjanjian terakhir akhirnya ditandatangani pada bulan Mei 1915.

Hegemoni Jepang di bagian utara Cina dan bagian lain di Asia dimudahkan lewat berbagai perjanjian internasional. Perjanjian dengan Rusia pada 1916 mengamankan lebih jauh pengaruhnya di Manchuria dan Mongolia Dalam, sedangkan perjanjian lain dengan Prancis, Inggris, dan Amerika Serikat pada 1917 mengakui kekuasaan teritorial Jepang di Cina dan daerah Pasifik. Kredit Nishihara (dinamakan sesuai tokoh representative Tokyo di Beijing, Nishihara Kamezo) pada tahun 1917 dan 1918, sambil memberi bantuan kepada pemerintah Cina, menjadikan Cina berutang kepada Jepang lebih banyak lagi. Menjelang akhir masa perang, permintaan Jepang terhadap sekutu Baratnya akan bahan baku persenjataan meningkat tajam, dengan demikian membantu memperbanyak jenis industri di dalam negeri, meningkatkan ekspor, dan mengubah posisi Jepang dari negara debitor ke negara kreditor untuk pertama kalinya.

Kekuatan Jepang di Asia semakin bertambah seiring keruntuhan rezim tsaris di Rusia dan kekacauan karena Revolusi Bolshevik 1917 di Siberia. Melihat adanya kesempatan emas, tentara Jepang kemudian menduduki Siberia sepanjang Danau Baikal. Untuk melakukannya, Jepang harus melakukan perjanjian dengan Cina untuk bisa melintasi daerah teritori Cina. Meskipun jumlah tentara sengaja dikurangi untuk menghindari pertentangan dengan Amerika Serikat, lebih dari 70.000 tentara Jepang bergabung dengan kesatuan militer kecil Pasukan Ekspedisi Sekutu (Allied Expeditionary Force) yang dikirim ke Siberia pada tahun 1918 selama Perang Saudara di Rusia.

Perang Dunia I memberi peluang bagi Jepang, yang berperang mendukung Sekutu, untuk memperluas pengaruhnya di Asia dan Pasifik. Bertindak hampir tanpa kendali pemerintah sipil, Angkatan Laut Kekaisaran Jepang merampas koloni-koloni Jerman di Micronesia.

Pada 9 Oktober 1916, Terauchi Masatake diangkat menjadi perdana menteri menggantikan Okuma Shigenobu. Pada 2 November 1917, Perjanjian Lansing-Ishii menandai adanya pengakuan kepentingan di Cina dan perjanjian untuk menjaga “Kebijakan Pintu Terbuka” (門戸開放政策). Pada bulan Juli 1918, Ekspedisi Siberia diluncurkan bersamaan dengan menyebarnya 75.000 tentara Jepang. Pada bulan Agustus 1918, huru-hara beras (komesoudou) terjadi di seluruh kota-kota di Jepang.

3. JEPANG PASCA-PERANG DUNIA I: DEMOKRASI TAISHO
Masa setelah perang mengantarkan kepada kesejahteraan yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jepang mengikuti konferensi perdamaian di Versailles tahun 1919 sebagai salah satu kekuatan industri dan militer terkuat di dunia dan menerima pengakuan resmi sebagai salah satu dari anggota baru “Lima Besar”, kelompok negara terkuat di dunia internasional. Tokyo ditawari kursi abadi dalam Dewan Liga Bangsa-Bangsa dan perjanjian damai yang menegaskan pemindahtanganan hak kuasa Jerman di Shandong, sebuah ketetapan yang mengundang munculnya kerusuhan anti-Jepang dan gerakan politik massa di seluruh Cina. Tak jauh beda dengan itu, pulau-pulau yang sebelumnya dikuasai Jerman di Pasifik ditempatkan di bawah mandat Jepang. Jepang juga terlibat dalam intervensi Sekutu di Rusia pascaperang dan menjadi kekuatan Sekutu terakhir yang menarik pasukan pada tahun 1925. Meskipun hanya memiliki peran kecil dalam Perang Dunia I (dan terdapat penolakan pihak Barat terhadap penawarannya tentang klausul persamaan ras dalam perjanjian damai), Jepang muncul sebagai pelaku besar dalam pentas politik internasional pada penutupan perang.

Sistem politik dua-partai yang sedang berkembang di Jepang sejak pergantian abad akhirnya muncul kegemilangannya setelah Perang Dunia I, melahirkan nama kecil dari zaman itu, Demokrasi Taisho. Pada tahun 1918, Hara Takashi, anak didik Saionji dan seorang yang berpengaruh besar di kabinet Seiyukai pada masa praperang, menjadi rakyat jelata pertama yang menduduki jabatan perdana menteri. Dia mengambil kesempatan dari hubungan baiknya yang dia jalin dengan orang-orang di pemerintahan, lalu meraih banyak dukungan dari Majelis Tinggi dan genro yang masih bertahan, serta membawa menteri angkatan darat Tanaka Giichi, yang memiliki keinginan lebih besar dibanding pendahulunya terhadap hubungan militer sipil yang baik, ke dalam kabinetnya. Meskipun begitu, masalah besar menanti Hara: inflasi, kebutuhan akan perbaikan kondisi perekonomian Jepang pascaperang, arus pola pikir Barat yang leluasa masuk, dan munculnya gerakan buruh. Solusi praperang diaplikasikan oleh kabinetnya untuk menyelesaikan permasalahan praperang ini, dan sedikit telah diselesaikan untuk mereformasi pemerintahan. Hara bekerja untuk meyakinkan mayoritas Seiyukai dengan menggunakan metode yang telah teruji, seperti perundang-undangan pemilihan umum yang baru dan pemetaan kembali wilayah pemilihan, serta peningkatan program kerja sektor riil yang dibiayai pemerintah.

Masyarakat menjadi sangat kecewa karena utang negara semakin banyak dan perundang-undangan pemilihan umum yang baru, yang mengubah batas pembayaran pajak minimal yang lama bagi para pemilih. Teriakan dari bawah semakin kencang mengenai hak pilih umum dan pembongkaran jaringan partai politik lama. Para siswa, profesor, dan jurnalis, dengan dukungan persatuan buruh serta kelompok demokrasi, komunis, sosialis, anarkis dan kelompok pemikir a la Barat lain, melakukan demonstrasi besar-besaran namun tertib untuk menyuarakan hak pilih laki-laki pada tahun 1919 dan 1920. Pemilihan umum yang baru masih tetap memberi kursi mayoritas kepada Seiyukai, namun hampir saja tak seperti itu. Dalam lingkungan pergaulan politik masa itu, terdapat pengembangbiakan partai-partai baru, termasuk partai-partai sosialis dan komunis.

Di tengah gejala politik seperti ini, Hara dibunuh oleh seorang pekerja rel kereta yang merasa kecewa pada tahun 1921. Hara pun digantikan oleh seorang perdana menteri nonpartai dan kabinet koalisi. Ketakutan akan semakin melebarnya daerah pemilihan, kubu sayap kiri, dan perubahan sosial yang berkembang akibat arus budaya popular dari Barat (diilustrasikan dalam manga dan anime “Haikara-san ga Toru” yang popular tahun 1970an) membawa kepada jalan terciptanya Hukum Pemeliharaan Perdamaian pada tahun 1925, yang melarang adanya perubahan dalam struktur politik atau penghapusan kepemilihan pribadi.

Koalisi yang tak stabil dan terpecah-belahnya Diet mengarah pada bergabungnya Kenseikai (憲政会 Asosiasi Pemerintahan Konstitusional) dan Seiyuu Hontou (政友本党 Seiyūkai Sejati) pada 1927. Program partai Rikken Minseito mengikat kepada sistem parlementer, politik demokratis, dan perdamaian dunia. Kemudian, hingga 1932, Seiyukai dan Rikken Minseito berubah-ubah posisinya sebagai partai terkuat.

Meskipun ada usaha dalam perbaikan perpolitikan, harapan akan terciptanya pemerintahan yang teratur, krisis ekonomi dalam negeri mengganggu stabilitas setiap partai yang berkuasa. Rencana penghematan fiskal dan seruan untuk mendapat dukungan masyarakat terhadap kebijakan pemerintah konservatif seperti Hukum Pemeliharaan Perdamaian––termasuk peringatan-peringatan akan kewajiban moral untuk berkorban bagi kaisar dan negara––dicoba untuk menyelesaikan masalah. Meskipun Depresi Besar yang melanda dunia di akhir tahun 1920an hingga awal 1930an tak terlalu berpengaruh besar terhadap perekonomian Jepang––tentu saja ekspor Jepang meningkat secara substansial selam periode ini––terdapat rasa ketidaksenangan yang semakin meningkat dan berakibat semakin banyak pula usaha pembunuhan terhadap perdana menteri Osachi Hamaguchi yang diusung Rikken Minseito pada tahun 1930. Meski Hamaguchi selamat dari kematian akibat penyerangan dan berusaha melanjutkan pekerjaannya sambil menahan sakit karena luka yang dia derita, dia dituntut untuk segera mundur dari jabatan di tahun berikutnya dan meninggal tak lama kemudian.

4. KOMUNISME DAN RESPONS YANG MUNCUL
Kemenangan Bolsheviks di Rusia pada tahun 1917 dan harapan mereka akan revolusi dunia membawa pada pendirian Komitern. Komitern sadar akan pentingnya Jepang dalam menggapai kesuksesan revolusi di Asia Timur dan secara aktif bekerja membentuk Partai Komunis Jepang, yang didirikan pada Juli 1922. Tujuan yang diumumkan partai ini pada tahun 1923 adalah untuk mengakhiri feodalisme, penghapusan sistem monarki, pengakuan terhadap Uni Soviet, dan penarikan pasukan Jepang dari Siberia, Sakhalin, Cina, Korea, dan Taiwan. Sebuah penindasan brutal yang dilakukan partai ini pun terjadi. Kelompok radikal pun membalas dengan sebuah percobaan pembunuhan terhadap Pangeran Hirohito. Hukum Pemeliharaan Perdamaian 1925 adalah respons langsung terhadap “pemikiran-pemikiran berbahaya” yang disusupi oleh elemen komunis di Jepang.

Liberalisasi perundang-undangan pemilihan dengan terciptanya Undang-Undang Pemilihan Umum pada tahun 1925 memberi keuntungan kepada kandidat dari partai komunis, bahkan meskipun Partai Komunis Jepang sendiri dilarang keberadaannya. Hukum Pemeliharaan Kedamaian yang baru pada 1928, bagaimana pun, menghalangi usaha kubu komunis ini lebih jauh dengan melarang partai-partai yang telah mereka susupi. Aparat kepolisian pada waktu itu ada di mana-mana dan dengan sungguh-sungguh mencoba mengontrol gerakan sosialis. Sejak tahun 1926, Partai Komunis Jepang melakukan gerakan bawah tanah, pada musim panas 1929 kepemimpinan partai hampir benar-benar hancur, dan tahun 1933 partai ini terintegrasi secara luas.

Ultra-nasionalisme merupakan ciri khas politik sayap-kanan dan militerisme konservatif sejak lahirnya Restorasi Meiji, memberi sumbangan besar terhadap politik pro-perang tahun 1870an. Para mantan samurai yang merasa kecewa lalu mendirikan lembaga-lembaga patriotis dan organisasi yang menggabungkan kecerdasan, seperti Gen’yousha (玄洋社 Lembaga Lautan Hitam, ditemukan tahun 1881) beserta cabang-cabangnya, Kokuryuukai (黒竜会 Lembaga Naga Hitam atau Lembaga Sungai Amur, didirikan pada tahun 1901). Kelompok-kelompok ini menjadi sangat aktif di dalam perpolitikan dalam dan luar negeri, membantu meningkatkan sentimen properang, dan mendukung penyebab ultra-nasionalis selama akhir Perang Dunia II. Setelah kemenangan Jepang atas Cina dan Rusia, para pendukung ultranasionalisme memusatkan perhatian kepada isu-isu dalam negeri dan ancaman dalam negeri yang terasa, seperti sosialisme dan komunisme.

5. KEBIJAKAN LUAR NEGERI TAISHO
Nasionalisme Cina yang muncul, kemenangan komunis di Rusia, dan kehadiran Amerika Serikat di Asia Timur, semuanya melawan kehendak Jepang dalam kebijakan luar negerinya. Ekspedisi Siberia yang berlangsung empat tahun dan aktivitas di Cina, digabungkan dengan program-program pembelanjaan dalam negeri yang demikian besar, telah menghabiskan pendapatan yang didapat Jepang semasa perang. Hanya dengan praktik bisnis yang lebih kompetitif, yang didukung pertumbuhan ekonomi yang lebih jauh, serta modernisasi industri, yang diakomodasi oleh pertumbuhan zaibatsu, yang bisa membangkitkan kembali harapan untuk menjadi kekuatan dominan di Asia. Amerika Serikat, selama menjadi sumber dari banyak barang-barang impor dan pinjaman yang dibutuhkan untuk pertumbuhan, terlihat sebagai rintangan besar bagi tujuan ini karena kebijakannya termasuk imperialisme Jepang.

Titik balik internasional dalam diplomasi militer adalah Konferensi Washington 1921-1922, yang menghasilkan sebuah perjanjian berkelanjutan yang mengakibatkan adanya sebuah kekuatan baru di wilayah Pasifik. Permasalahan ekonomi Jepang membuat pembangunan angkatan laut hampir mustahil dan, karena sadar akan keinginannya untuk bersaing dengan Amerika Serikat dalam bidang ekonomi dibanding basis militer, usaha pendekatan pun tak dapat dielakkan. Jepang mengambil sikap yang lebih netral terhadap perang saudara di Cina, tak lagi berusaha untuk memperluas hegemoninya di Cina sebagaimana harusnya, dan bergabung dengan Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis dalam mendukung pertumbuhan dalam negeri Cina.

Dalam Perjanjian Empat Kekuatan dalam Kepemilikan Pulau yang ditandatangani tanggal 13 Desember 1921, Jepang, Amerika Serikat, Inggris, dan Prancis sepakat untuk mengakui keadaan status quo di Pasifik. Di samping itu Jepang dan Inggris sepakat untuk menghentikan secara resmi Perjanjian Persekutuan yang mereka dahulu sepakati. Perjanjian Perlucutan Senjata Lima Kekuatan setuju pada 6 Februari 1922 untuk menetapkan rasio jumlah armada angkatan laut internasional untuk Amerika Serikat, Inggris Jepang, Prancis, dan Italia (5 : 5 : 3 : 1,75 : 1,75) dan membatasi ukuran dan persenjataan kapal perang yang telah atau sedang dibangun. Dalam perjalanannya di mana Jepang mendapat lebih banyak kebebasan bergerak di Pasifik, Washington dan London sepakat untuk tidak membangun basis militer antara Singapura dan Hawaii.

Tujuan dari Perjanjian Kekuatan Sembilan yang juga ditandatangani pada 6 Februari 1922 oleh Belgia, Cina, Belanda, dan Portugal, bersamaan dengan kelima kekuatan inti, adalah pencegahan perang di Pasifik. Negara-negara yang ikut menandatangani sepakat untuk menghormati integritas dan kemerdekaan Cina, tidak ikut campur dalam usaha menciptakan kestabilan pemerintahan di Cina, menghindar dari pencarian hak khusus di Cina atau pengancaman posisi bangsa lain di sana, mendukung sebuah kebijakan mengenai persamaan peluang dalam perdagangan dan industri semua bangsa di Cina, dan menguji kembali kebijakan otonomi tariff dan ekstrateritorialitas. Jepang juga sepakat untuk menarik semua pasukan dari Shandong, melepaskan semua kecuali semata-mata hak ekonomi di sana, dan mengevakuasi semua pasukannya dari Siberia.

6. AKHIR DEMOKRASI TAISHO
Secara keseluruhan, selama tahun 1920an, Jepang mengganti arah politiknya menjadi system pemerintahan demokrasi. Namun, pemerintahan parlementer tidak benar-benar mengakar untuk bertahan di bawah tekanan politik dan ekonomi pada tahun 1930an, selama pemimpin-pemimpin militer memiliki pengaruh yang makin lama makin kuat. Pergantian kekuasaan ini dimungkinkan oleh ambiguitas dan ketidaktepatan konstitusi Meiji, yang secara khusus disusun sebagai penghormatan terhadap posisi Kaisar dalam hubungannya dengan konstitusi.

7. PERISTIWA-PERISTIWA
• 1912: Kaisar Taisho menerima mahkota kekaisaran (30 Juli). Jenderal Katsura Taro menjadi perdana menteri untuk masa jabatan ketiga (21 Desember).
• 1913: Katsura dipaksa untuk meletakan jabatan, dan Laksamana Yamamoto Gonnohyoe menjadi perdana menteri (20 Februari).
• 1914: Okuma Shigenobu menjadi perdana menteri untuk kali kedua (16 April). Jepang mendeklarasikan perang terhadap Jerman, bergabung dengan pihak Sekutu (23 Agustus).
• 1915: Jepang mengirim Tuntutan Duapuluh Satu kepada Jenderal Yuan Shikai yang berkuasa di Cina (18 Januari)
• 1916: Terauchi Masatake menjadi perdana menteri (9 Oktober).
• 1917: Perjanjian Lansing-Ishii ditandatangani Amerika Serikat dan Jepang (2 November).
• 1918: Ekspedisi Siberia diluncurkan (Juli). Hara Takashi menjadi perdana menteri (29 September).
• 1919: Gerakan Satu Maret mulai melawan aturan colonial di Korea (1 Maret).
• 1920: Jepang membantu pendirian Liga Bangsa-Bangsa.
• 1921: Hara tewas dibunuh dan Takahashi Korekiyo menjadi perdana menteri (4 November). Hirohito dinobatkan menjadi calon kaisar selanjutnya (29 November). Perjanjian Empat Kekuatan ditandatangani (13 Desember).
• 1922: Perjanjian Perlucutan Senjata Lima Kekuatan ditandatangani (6 Februari). Laksamana Kato Tomosaburo menjadi perdana menteri (12 Juni). Jepang menarik pasukan dari Siberia (28 Agustus).
• 1923: Gempa bumi besar Kanto menghancurkan Tokyo (1 September). Yamamoto menjadi perdana menteri untuk masa jabatan kedua (2 September).
• 1924: Kiyoura Keigo diangkat menjadi perdana menteri (7 Januari). Pangeran Hirohito (calon Kaisar Showa) menikahi Nagako Kuniyoshi (calon Kaisar Wanita Kojun) (26 Januari). Kato Takaaki menjadi perdana menteri (11 Juni).
• 1925: Undang-Undang Pemilihan Umum diloloskan, semua laki-laki berumur di atas 25 tahun memperoleh hak untuk memilih (5 Mei). Di samping itu, Hukum Pemeliharaan Kedamaian juga diloloskan. Putri Shigeko, putri pertama Hirohito dilahirkan (9 Desember)
• 1926: Kaisar Taisho meninggal; Hirohito dinobatkan menjadi kaisar Jeang yang baru (25 Desember).

8. KALENDAR YANG SAMA
Secara kebetulan, awal penanggalan Taisho tercatat pada waktu yang bersamaan dengan kalendar Juche di Korea Utara, dan kalendar Minguo di Republik Cina (Taiwan).

2 comments:

uwiie said...

asyik ada referensi buat tugas2 ku..
thanks ^^

Itaku801 said...

Kalau boleh tau, ada sumber rujukan untuk buku yang membahas era Taisho, tidak? :D