10:37 PM

Zero Tolerance dalam Pendidikan Jepang

Tulisan ini adalah draft tulisan bulan Juni tahun lalu. Saya sering mempunyai ide-ide menulis dan untuk sementara karena tidak ada waktu, hanya saya tulis judulnya dan simpan dalam bentuk draft.

Dalam seminar PDP yang diadakan setiap hari Selasa malam, suatu kali kami membahas tentang kebijakan zero tolerance dalam pendidikan Jepang.

Kebijakan zero tolerance pada awalnya muncul di USA sebagai bagian dari hukum kriminal atau pengadilan. Sejarah tentang zero tolerance saya kutipkan sedikit dari wikipedia. Zero tolerance dicetuskan pada tahun 1994. Teori ini lahir sebagai kelanjutan dari Teori Broken Windows yang diperkenalkan oleh James Q. Wilson dan George L.Killing pada tahun 1982. Teori Broken Windows adalah sebuah konsep mengantisipasi vandalism atau kriminal. Diibaratkan bahwa apabila sebuah jendela dirusak, maka tindakan vandalisme selanjutnya dapat diperkecil dengan segera memperbaiki kerusakan tersebut. Jika tidak dilakukan perbaikan terhadap jendela yg rusak, maka kondisi jendela rusak itu akan mendorong pelaku untuk merusakkan/memecahkan kaca jendela yang lainnya.

Adapun teori Zero Tolerance adalah mengabaikan segala bentuk perbaikan dan belas kasihan kepada para pelaku kriminal, dan lebih memilih penerapan hukum yang saklek, tanpa tedeng aling-aling. Dengan kata lain, toleransinya nihil !

Konsep zero tolerance diperdebatkan sebagai konsep yang cukup akurat untuk mengantisipasi aktivitas bullying (ijime) yang merebak di sekolah-sekolah Jepang. Konsep ini dipergunakan di USA untuk menghadapi anak-anak yang bermasalah. Sekolah-sekolah berhak mengeluarkan anak-anak seperti ini. Beberapa waktu lalu, sekolah-sekolah Jepang tidak mempunyai hak untuk mengeluarkan anak-anak yang bermasalah, sehingga boleh dikatakan anak yang dikeluarkan dari sekolah di Jepang adalah nihil. Orang Jepang berprinsip bahwa pendidikan anak adalah tanggung jawab sekolah, dan oleh karenanya anak yang melakukan ijime dianggap sebagai akibat pendidikan yang gagal diterapkan di sekolah.

Berbeda dengan di Indonesia, anak-anak yang melakukan tindakan amoral di sekolah diekspos secara besar-besaran oleh media massa, sementara pihak sekolah berusaha menutupinya karena akan mencemari nama baik sekolah. Saya pikir sekolah pada saat itu hanya berfikir untuk kepentingan sekolah. Adapun di Jepang, nama pelaku ijime harus disembunyikan dan tidak boleh ditampilkan di media apabila masih di bawah umur. Pihak keluarga atau bahkan pihak sekolah yang diwawancarai di TV umumnya tidak ditampakkan secara penuh, misalnya dengan wajah yang diburamkan sama sekali atau suara yang diubah.

Karena merebaknya kasus ijime yang bahkan mengarah pada meningkatnya jumlah anak yang melakukan bunuh diri, pakar pendidikan mengajukan konsep zero tolerance. Artinya anak-anak pelaku ijime seharusnya dikeluarkan dari sekolah atau sekolah tidak memberikan keleluasaan bergerak kepadanya.

Tetapi pakar pendidikan yang lain mengutarakan argumen, seandainya ini diterapkan, bagaimanakah nasib si pelaku ijime selanjutnya ? Siapa yang akan mengubahnya menjadi berperilaku baik ? Apakah hanya orang tuanya yang bertanggung jawab ?

Memang sangat berbeda konsep berfikir orang Amerika dan orang Jepang. Jika di Amerika individualistik sangat menonjol, dan bahkan kesempatan mendidik sendiri anak-anak melalui program home schooling pun didukung oleh pemerintah, di Jepang, masyarakatnya masih beranggapan bahwa pendidikan adalah beban pemerintah untuk menyelenggarakannya dan tanggung jawab pendidikan seorang anak adalah tanggung jawab semuanya. Oleh karena itu mengeluarkan anak dari sekolah harus diantisipasi dengan menyediakan lembaga pendidikan baru untuk si anak.

Hukuman memang harus diberikan kepada si pelaku kejahatan. Tetapi bagaimana agar hukuman tersebut membuat pelaku dan orang-orang sekitarnya menjadi sadar dan mengubah diri menjadi lebih baik, itu yang harus dipikirkan.


(sumber: http://murniramli.wordpress.com)

10:27 PM

JLookUp 1.0.7.2 Japanese-English Dictionary Program

Software JLookUp.1.0.7.2 dapat digunakan sebagai kamus untuk mencari terjemahan dari bahasa Jepang ke bahasa Inggris. Kata yang ditulis akan langsung berbentuk huruf kana (hiragana dan katakana), masukkan kata Romaji kemudian tinggal tekan Enter, maka arti dalam bahasa Inggris akan muncul.


Unduh JLookUp di sini atau di sini atau di sini

10:05 PM

Desain Rumah Orang Jepang

Atsugi/Jepang, 16 November 2007

Setiap hari, pergi dan pulang kerja dari kampus, saya selalu melewati sebuah proyek pembangunan rumah yang tidak jauh dari tempat tinggal saya. Proyek tersebut sudah dikerjakan sekitar sebulan enam minggu yang lalu dan beruntung sekali saya melihatnya mulai dari tahap konstruksi basement-nya. Sebagai gambaran, proyek tersebut terdiri dari tiga buah rumah yang sama dari model, ukuran, luasnya. Sekarang rumah tersebut sudah hampir selesai yang tinggal tahap finishing saja lagi.

Dengan seringnya melihat proyek rumah tersebut, saya bisa mengamati kemajuan dan dari langkah-langkah pembuatan rumah tersebut. Ketiga rumah yang sama ini disain dan modelnya biasa saja, sama halnya dengan rumah orang Jepang yang lain yaitu model seperti kotak saja.

Pengerjaan utama dari rumah tersebut adalah fondasinya, dan seluruh instalasi air bersih dan kotor sudah disiapkan pada kolong yang ada pada fondasi rumah tersebut, jadi tidak ada pipa-pipa yang terbenam dalam tanah seperti halnya sistem pembangunan rumah di Indonesia.

Rumah tersebut terbuat dari kayu dan semua material kayu tersebut dipesan dari perusahaan yang bergerak di bidang bahan bangunan. Saya dapat informasi bahwa seluruh material kayu (baik untuk konstruksi, dinding, dan lantai) semuanya berasal dari Jepang. Beruntung saya sempat melihat sendiri pabrik yang membuat bahan bangunan dari kayu sewaktu konferensi di Sapporo waktu itu. Jika dibandingkan dengan Indonesia, mungkin rumah kayu tidak popular di Indonesia, tetapi di Jepang saya perhatikan, rumah yang sampai tingkat dua banyak terbuat dari kayu. Memang beralasan mengapa dari kayu mengingat Jepang adalah negara yang sering diguncang gempa dan konstruksi kayu dianggap lebih aman daripada konstruksi beton. Kemudian alasan lainnya saya pikir adalah masalah pemakaian energi di rumah tangga, yaitu rumah kayu lebih irit dalam pemakaian AC untuk pendingin pada musim panas dan pemanas (heater) pada musim dingin.

Satu hal lagi adalah rumah di Jepang tidak begitu besar dan banyak sekali ruangannya. Saya pikir ini juga ada alasan pemakaian energi yang lebih hemat untuk ruangan yang lebih kecil. Di samping itu faktor tanah yang mahal sekali harganya untuk dibeli sehingga orang Jepang secukupnya saja untuk membeli tanah untuk rumah mereka.

Untuk sementara, saya mengambil kesimpulan di sini bahwa orang Jepang dalam membangun rumah lebih mementingkan fungsi dan efisiensi daripada model. Dari sistem kolong untuk instalasi akan lebih mempermudah dalam inspeksi kerusakan dan kebocoran dan perawatan. begitu juga dengan pemakaian kayu yang lebih hemat dalam pemakaian energi untuk pendingin dan pemanas, serta ukuran rumah yang tidak begitu besar yang memudahkan dalam operasional aktivitas sehari-hari dan perawatan. Satu hal lagi, rumah yang tidak terlalu besar akan membuat sang pemilik rumah untuk berpikir seribu kali atau mungkin sejuta kali untuk membeli perabot dan elektronik serta mobil karena “lahan” yang tersedia terbatas alias “mau ditempatkan di mana?”

Yah, sekian dulu ya laporan saya ini. Semoga pengunjung puas dengan laporan dadakan ini, mumpung masih ingat nih. Sayang belum sempat ambil foto rumah tersebut, soalnya pas saya lewat di situ, tukangnya lagi mondar-mandir di situ, saya jadi tidak enak untuk “jepret”.

Salam dari Atsugi.

http://erkata.files.wordpress.com/2007/11/3ed4ca36.jpg


http://erkata.files.wordpress.com/2007/11/kurayaneyamaki.jpg

http://erkata.files.wordpress.com/2007/11/07momizi_rinnoji1.jpg

(sumber: erkata.wordpress.com)

8:33 PM

Jalan Tol di Jepang Yang Mengagumkan

Jepang bukan hanya terkenal dengan kecerdasan dan kedisiplinan mereka dalam waktu dan bekerja. Struktur pembangunan jalan-jalan kotanya pun sangatlah tersusun rapi. Bisa dibayangkan betapa hebatnya orang Jepang dalam membuat jalan tol seperti di bawah ini:

jalan-tol-di-jepang_1

Kira-kira berapa tahun lagi ya di Indonesia bisa begini?

(Sumber: maniakblog.blogdetik.com)

8:25 PM

Komunitas Terdidik: Belajar dari Jepang

Opini kecil, yang saya tulis sewaktu masih tinggal di Jepang. Pernah dimuat di kolom Opini, Surat Kabar Republika, tanggal 15 Juli 2002.

Tiada hari terlewatkan tanpa membaca surat kabar Indonesia melalui Internet. Di sana-sini bermunculan berita mengenai rusaknya moral dan carut marutnya kepribadian masyarakat Indonesia, layaknya sebuah bangsa yang tidak terdidik. Dan kerusakan ini secara signifikan dan menyeluruh melanda berbagai golongan masyarakat Indonesia, dari pejabat atas, menengah sampai rendah, dari anggota DPR sampai menular ke masyarakat umum. Kemudian kalau kita menyimak berita-berita Internasional, sudah menjadi hal yang lazim, bahwa Indonesia selalu memenangi kontes-kontes internasional yang berhubungan dengan sifat buruk. Dari masalah besarnya jumlah korupsi, pelanggaran HAM, pembajakan software, sampai rendahnya masalah sumber daya manusia (SDM).

Pada tulisan ini, penulis mencoba menguraikan tentang bagaimana sebuah komunitas terdidik (knowledged community) dan beradab itu sebenarnya bisa terbentuk dari sesuatu hal yang sangat sederhana.

bus.jpgDari mengamati perilaku kehidupan masyarakat Jepang, sebenarnya tergambar bagaimana sebuah komunitas terdidik terlahir dari suatu sifat dan sikap yang sederhana. Yang pertama mari kita lihat bagaimana orang Jepang mengedepankan rasa “malu”. Fenomena “malu” yang telah mendarah daging dalam sikap dan budaya masyarakat Jepang ternyata membawa implikasi yang sangat luas dalam berbagai bidang kehidupan. Penulis cermati bahwa di Jepang sebenarnya banyak hal baik lain terbentuk dari sikap malu ini, termasuk didalamnya masalah penghormatan terhadap HAM, masalah law enforcement, masalah kebersihan moral aparat, dsb.

eki.jpgBagaimana masyarakat Jepang bersikap terhadap peraturan lalu lintas adalah suatu contoh nyata. Orang Jepang lebih senang memilih memakai jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan raya. Bagaimana taatnya mereka untuk menunggu lampu traffic light menjadi hijau, meskipun di jalan itu sudah tidak ada kendaraan yang lewat lagi. Bagaimana mereka secara otomatis langsung membentuk antrian dalam setiap keadaan yang membutuhkan, pembelian ticket kereta, masuk ke stadion untuk nonton sepak bola, di halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.

densha.jpgHal menarik berikutnya adalah bagaimana orang Jepang berprinsip sangat “ekonomis” dalam masalah perbelanjaan rumah tangga. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Sekitar 8 tahun yang lalu, masa awal-awal mulai kehidupan di Jepang, penulis sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekitar pukul 19:30. Selidik punya selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00. Contoh lain adalah para ibu rumah tangga yang rela naik sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 10 atau 20 yen. Juga bagaimana orang Jepang lebih memilih naik densha (kereta listrik) swasta daripada densha milik negeri, karena untuk daerah Tokyo dan sekitarnya ternyata densha swasta lebih murah daripada milik negeri. Dan masih banyak lagi contoh yang sangat menakjubkan dan membuktikan bahwa orang Jepang itu sangat ekonomis.

Secara perekonomian mereka bukan bangsa yang miskin karena boleh dikata sekarang memiliki peringkat GDP yang sangat tinggi di dunia. Mereka juga bukan bangsa yang tidak sibuk atau lebih punya waktu berhidup ekonomis, karena mereka bekerja dengan sangat giat bahkan terkenal dengan bangsa yang gila kerja (workaholic). Tetapi hebatnya mereka tetap memegang prinsip hidup ekonomis. Ini sangat bertolak belakang dengan masyarakat negara-negara berkembang (baca: Indonesia) yang bersifat sangat konsumtif. Terus terang kita memang sangat malas untuk bersifat ekonomis. Baru dapat uang sedikit saja sudah siap-siap pergi ke singapore untuk shopping, atau beli telepon genggam baru.

imigrasi.jpgSifat berikutnya adalah masalah “sopan santun dan menghormati orang lain”. Masyarakat Jepang sangat terlatih refleksnya untuk mengatakan gomennasai (maaf) dalam setiap kondisi yang tidak mengenakkan orang lain. Kalau kita berjalan tergesa-gesa dan menabrak orang Jepang, sebelum kita sempat mengatakan maaf, orang Jepang dengan cepat akan mengatakan maaf kepada kita. Demikian juga apabila kita bertabrakan sepeda dengan mereka. Tidak peduli siapa yang sebenarnya pada pihak yang salah, mereka akan secara refleks mengucapkan gomennasai (maaf).

Kalau moral dan sifat-sifat sederhana dari orang Jepang, seperti malu, hidup ekonomis, menghormati orang lain sudah sangat jauh melebihi kita, ditambah dengan majunya perekonomian dan sistem kehidupan. Sekarang marilah kita bertanya kepada diri kita, hal baik apa yang kira-kira bisa kita banggakan sebagai bangsa Indonesia kepada mereka ?

Bangsa Indonesia bukan bangsa yang bodoh dan tidak mengerti moral. Kita bisa menyaksikan bahwa mahasiswa-mahasiswa Indonesia yang sedang belajar Jepang, Jerman, Amerika dan di negara -negara lain, banyak sekali yang berprestasi dan tidak kalah secara ilmu dan kepintaran. Demikian juga kalau kita bandingkan bagaimana para pengamat dan komentator Indonesia menguraiakan analisanya di televisi Indonesia. Selama hidup 8 tahun di Jepang penulis belum pernah menemukan analisa pengamat dan komentator di televisi Jepang yang lebih hebat analisanya daripada pengamat dan komentator Indonesia. Dan ini menyeluruh, dari masalah ekonomi, politik, sistem pemerintahan bahkan sampai masalah sepak bola.

Akan tetapi sangat disayangkan bahwa fakta menunjukkan, secara politik dan sistem pemerintahan kita tidak lebih stabil daripada Jepang, secara ekonomi kita jauh dibawah Jepang. Dalam masalah sepakbola juga dalam waktu singkat Jepang sudah berprestasi menembus 16 besar pada piala dunia tahun 2002 ini, sementara kita sendiri masih berputar-putar dengan permasalahan yang tidak mutu, dari masalah wasit, pemain sampai kisruhnya suporter.

Mengambil pelajaran dari kasus yang telah diuraikan penulis diatas. Ternyata kepintaran dan kepandaian otak kita adalah tidak cukup untuk membawa kita menuju suatu komunitas yang terdidik. Justru sikap dan prinsip hidup yang sebenarnya terlihat sederhana itulah akan secara silmultan membentuk suatu bangsa menjadi bangsa besar dan berperadaban.


Romi Satria Wahono

(sumber: romisatriawahono.net)

8:17 PM

Jepang dan Apresiasi Budaya Asing

”Selain orang Jepang adalah musuh”. Ajaran demikian itu ditanamkan oleh pemerintah fasis dan militer Jepang kepada para pelajar sampai 1945. Bahkan, setelah Perang Dunia II usai, ketika tentara sekutu datang ke Jepang, bangsa Jepang masih bersikap memusuhi orang asing atau gaikokujin. Lambat laun, mereka menyadari bahwa kebijakan pemerintah ini keliru besar.

Sejak itu, lembaga-lembaga swasta banyak mengambil inisiatif melakukan diplomasi kebudayaan, melakukan muhibah ke luar negeri dan mendatangkan delegasi asing ke Jepang. Mereka menyadari ternyata orang asing itu memiliki sejumlah sifat terpuji dan layak dijadikan contoh. Singkatnya, orang asing itu tidak sejelek yang mereka pikirkan.

Sebagai pihak yang paling merasakan pedihnya dijatuhi bom atom, rakyat Jepang menyadari buruknya dampak perang dan berupaya untuk menghindarinya. Berbagai organisasi swasta mengambil inisiatif mempertemukan bangsa-bangsa di dunia lewat pertunjukan kesenian dan kebudayaan pada umumnya. Inisiatif demikian itu mendapat dukungan pemerintah kota, kabupaten, provinsi, atau pusat. Setiap pemerintahan kota lazimnya menyediakan dana hubungan luar negeri, khususnya untuk program pertukaran kebudayaan.

Pada tahun 1964, Jepang dipercaya menjadi tuan rumah Olimpiade Dunia. Berbagai infrastruktur, seperti jalan kereta api, jalan tol, dan fasilitas lainnya dibangun. Kepercayaan dunia ini membuat orang Jepang semakin percaya diri dan bekerja keras sehingga tumbuh menjadi raksasa ekonomi di Asia. Kini, bangsa Jepang sering digambarkan sebagai bangsa yang hidupnya serba berkecukupan, pintar, kompetitif, ulet, dan bangga dengan budaya sendiri.

Namun, pada sisi lain, hidup mereka menjadi serbamekanis, serbacepat, serba kekurangan waktu sehingga hampir tidak ada waktu bagi keluarga untuk bercengkerama. Hubungan orang tua dan anak menjadi kaku. Selain itu, anak pun seolah tidak merasa berkewajiban untuk berbakti, menyayangi orang tua yang sudah lanjut usia. Beberapa kalangan terdidik menyadari hal ini dan berupaya untuk memperbaikinya, seperti yang sudah dan sedang dilakukan oleh organisasi swasta The Osaka in the World Committee.

Diprakarsai oleh Yamanisi Ippei dan Nakahasi Masami pada tahun 1989, The Osaka in the World bercita-cita ingin membangun saling pengertian antarbangsa melalui pendekatan kebudayaan. Setiap September, mereka mendatangkan tim kesenian asing untuk tampil di beberapa kota di Jepang. Pada tahun 1992, grup kesenian Laras Rumingkang dari UPI tampil di sepuluh kota di Provinsi Osaka.

Pada November 2009, The Osaka in the World memperingati ulang tahunnya yang ke-20 dengan mendatangkan delegasi dari 20 negara. Negara-negara itu, yakni Argentina, Brasil, Bulgaria, Georgia, India, Indonesia, Irlandia, Jepang, Korea, Malaysia, Meksiko, Mongolia, Nepal, Selandia Baru, Peru, Rusia, Sri Lanka, Thailand, Turki, dan Vietnam. Mereka mendatangkan grup kesenian Uda Ondo dari Argentina yang berkeliling ke berbagai kota di Jepang.

Selama sebulan penuh rombongan kesenian itu, juga semua delegasi asing dari 20 negara itu, tinggal bersama keluarga Jepang yang disebut host family atau hosuto famili. Lewat program ini, delegasi asing dapat mempelajari budaya Jepang, bertukar pikiran untuk saling memahami dan menghargai budaya lain. Para delegasi juga diajak mengunjungi berbagai situs kebudayaan dan objek wisata. Bagi saya sebagai perwakilan Indonesia homestay di keluarga Jepang ini terasa paling mengesankan.

Dari pengamatan langsung, berdiskusi, dan bergaul dengan masyarakat Jepang, saya berkesimpulan bahwa apresiasi mereka terhadap seni sangat tinggi. Auditorium tempat pertunjukan di Kota Kawachinagano pada 27 November 2009, hampir penuh oleh penonton sampai pertunjukan usai. Para penonton, selain membeli karcis, juga memborong berbagai macam cendera mata asal Argentina yang uangnya disalurkan untuk merenovasi satu rumah sakit di daerah pedalaman di Argentina.

Ini mengingatkan saya tahun 2006 ketika Yogyakarta digoyang gempa. Masyarakat Jepang melalui KBRI di Tokyo menggalang dana bantuan. Saya terharu dengan empati orang Jepang terhadap korban gempa itu. Beberapa orang Jepang menguras tabungan mereka. Bahkan, ada yang berkaki roda datang dari jauh menyerahkan sumbangannya ke KBRI di Tokyo.

A. Chaedar Alwasilah
(Sumber: newspaper.pikiran-rakyat.com)

9:53 PM

100 Orang Jepang Bunuh Diri Setiap Hari

Angka bunuh diri di Jepang melonjak drastis seiring krisis ekonomi. Dalam sehari, lebih dari 100 orang bunuh diri di Negeri Sakura itu selama April.

"Ini adalah akhir dari tahun finansial. Jadi saya kira masalah ekonomi menjadi pemicunya," kata Yasuyuki Shimizu, pemimpin Link, sebuah organisasi di Jepang yang mengampanyekan penghentian bunuh diri.

Dalam masa resesi ini, tambah Shimizu, akhir tahun finansial identik dengan kebangkrutan dan pemutusan hubungan kerja.

Angka bunuh diri di Jepang juga merupakan yang tertinggi dibanding negara maju lainnya. Selama tahun ini, dari 100.000 orang dilaporkan terdapat 24 kasus bunuh diri. Sementara AS hanya 11 dari 100.000 orang.

Data kepolisian Jepang yang dikutip Reuters, Kamis (28/5/2009), menunjukkan jumlah orang bunuh diri di Jepang selama April tahun ini naik enam persen dibanding bulan yang sama tahun lalu.

Ini sejalan dengan anjloknya perekonomian Jepang sebesar empat persen selama perioden Januari hingga Maret, atau kuartal terakhir di tahun finansial ini.

"Masalah ini yang memicu orang kehilangan pekerjaan dan memutuskan untuk bunuh diri," papar Shimizu.

Menurutnya diperlukan jaring pengaman untuk menyelamatkan para pekerja yang di-PHK agar tetap hidup.

Kelompok usia menengah memiliki risiko tertinggi untuk bunuh diri, meski kelompok usia yang lebih muda juga menunjukkan peningkatan. Lebih dari 30.000 orang Jepang bunuh diri setiap tahunnya sejak 11 tahun terakhir.

Kepolisian Naional Jepang (NPA) mulai merilis data statistik angka bunuh diri setiap bulan, sejak tahun lalu. Langkah ini diharapkan dapat mengurangi niat orang Jepang untuk mengakhiri hidupnya.
(sumber: okezone.com)

9:48 PM

Melihat Kehidupan Orang Jepang Tempo Doeloe Dalam Gambar Bergerak 3D

Setiap bangsa tentunya memiliki masa lalu, sisi lama dalam perjalanan sebuah bangsa yang bisa dijadikan pijakan sejarah peradaban manusia, budaya dan seni yang sangat penting bagi warisan generasi-generasi selanjutnya. Seperti halnya bangsa-bangsa Asia Timur lainnya, bangsa Jepang memiliki sisi kepercayaan spiritual yang sangat dijunjung tinggi dalam aspek kehidupannya terutama di masa lalu. Berikut ini pandangan bagaimana gambaran kehidupan tradisional Jepang klasik tempo doeloe yang sangat indah karena dikemas dalam gambar animasi bergerak 3 dimensi. Selamat Menikmati! Douzo~


budaya jepang

Jepang Tempo Doeloe, dalam perspektif seni, budaya dan kehidupan masyarakat


budaya jepang

Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan


budaya jepang

Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan


budaya jepang

Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan


budaya jepang

Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan


budaya jepang

Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan


budaya jepang

Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan


budaya jepang

Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan


budaya jepang

Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan


budaya jepang

Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan


budaya jepang

Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan


budaya jepang

Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan


budaya jepang

Sisi lampau bangsa Jepang dalam "stereoview" gambar 3 dimensi, budaya dan kehidupan

(sumber: ruanghati.com)

9:29 PM

Masyarakat Gila Gelar

Ada satu hal yang saya sukai dari ilmuwan di Jepang, yaitu kebiasaannya untuk tidak menuliskan gelar. Jika ada seminar atau kuliah umum yang diadakan di kampus, sehebat apapun profesor yang akan diundang untuk berbicara, belum pernah saya melihat ada embel-embel gelar di depan atau di belakang namanya. Tetapi lain halnya jika yang diundang berbicara adalah profesor dari luar Jepang, maka biasanya dilengkapi dengan embel-embel.


Kehebatan para peneliti di Jepang bukan dilihat dari banyaknya gelar yang dipunyainya. Saya mengenal beberapa orang profesor yang telah mendalami dan mengikuti program pendidikan dari berbagai major (bidang/ jurusan) yang terkait dengan penelitiannya, tetapi namanya tidak semakin panjang dengan gelar-gelar yang didapatnya.


Di Jepang tidak ada istilah guru besar. Sehingga para dosen tidak perlu disibukkan dengan mengejar target ini itu untuk mendapatkan gelar ini. Oleh karenanya saya melihat mereka lebih enjoy melakukan penelitian apa saja yang diinginkannya. Seorang asisten profesor yang saya kenal di kampus, jika melihat hasil penelitian dan tulisan-tulisannya yang tersebar di jurnal Jepang dan internasional, seandainya dia berada di Indonesia, dengan mudahnya dia akan mendapatkan gelar guru besar. Tetapi tidak dengan di Jepang, statusnya tetap sebagai asisten profesor sekalipun menurut saya dia layak sekali disebut profesor, dan bukan asisten.


Seorang teman menulis email di sebuah milis, di dalam embel-embel pengirim dicantumkannya gelar doktor (Dr) di depan namanya. Dia tidak salah memang, sebab dia berhak atas itu.Tetapi mungkin karena sudah terpengaruh dengan budaya Jepang, saya merasa jengah membaca email teman tersebut.


Wirausaha dan Sarjana


Suatu kali ada seorang penulis yang mengirimkan tulisan di media ilmiah yang saya asuh bersama teman-teman. Dalam tulisan tersebut, gelar doktor dicantumkannya. Saya menghapusnya dengan pertimbangan selama ini kami tidak menampilkan gelar dalam semua artikel yang kami muat. Ketika revisi kami kirimkan, kembali Pak Doktor menampilkan gelarnya. Dan saya harus menjalankan aturan majalah, gelarnya tidak kami cantumkan.


Pernah pula saya melakukan kilas-balik dan mengedit sebuah tulisan yang kemudian saya kirimkan balik kepada penulisnya dengan mengatakan alur berpikirnya tidak jelas, dan permasalahan yang diangkat tidak jelas dipaparkan di bagian pendahuluan. Mungkin tersinggung dengan komentar tersebut, si penulis membalas email saya dengan menambahkan semua gelar pada namanya. Saya baru tahu beliau profesor di sebuah universitas terkenal. Selanjutnya saya tidak berminat melakukan kilas-balik tulisan beliau.


Saya kadang-kadang malu menuliskan gelar akademis yang sudah saya miliki. Saya ingat ketika mengurus KTP di Indonesia, formulir isian menuntut penulisan gelar. Dan jadilah nama saya di KTP menjadi agak panjang dengan penambahan dua gelar di belakang, entahlah kalau tahun depan saya mengurus KTP lagi di Indonesia, nama saya akan bertambah panjang.


Saya tidak bisa pulang segera di bulan Maret ini karena meskipun course doktor saya sudah dianggap tuntas, dua profesor tidak mau meneken kertas pengakuan bahwa saya berhak atas gelar doktor. Katanya, mereka sayang melepas saya jika belum benar-benar memeriksa bab per bab. Saya memasuki program baru di fakultas kami, EdD, yang lulusannya bukan bergelar PhD, tetapi DEd. Saya tak pernah berfikir bahwa keduanya berbeda sebab selama ini saya melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan mahasiwa program PhD lainnya. Dan saya tidak peduli dengan gelar apa yang akan diberikan nanti. Tetapi saya paling peduli ketika dua profesor mengatakan bahwa saya perlu mengikuti pemeriksaan disertasi agar disertasi saya selevel dengan disertasi program PhD. Sementara profesor utama saya sudah berancang-ancang meneken tanda kelulusan saya di bulan Maret, dengan alasan saya semestinya dipermudah karena program EdD adalah program untuk orang yang bekerja dan tidak bisa disepadankan dengan program PhD, dua orang profesor anggota komisi memanggil saya dan membeberkan alasan mengapa mereka meminta saya mengikuti proses pemeriksaan komisi selama kurang lebih 5-6 bulan.


Saya katakan kepada kedua profesor, bahwa saya tidak mengharapkan mendapatkan gelar itu jika memang disertasi dan penelitian saya tidak diakui 100% oleh dewan komisi dan diterima oleh rapat dosen di fakultas. Saya tidak mau dikategorikan sebagai orang yang punya penyakit, seperti ditulis oleh Ronald Dore dalam bukunya “Diploma Disease”, dan memang saya tidak mempunyai penyakit itu. Saya membutuhkannya karena terdesak kepentingan dan keharusan memilikinya jika hendak mengabdi kepada ibu pertiwi.


Sepulang dari haji, teman mengatakan bahwa gelar saya bertambah di depan. Saya malu, sebab saya yang tahu layak tidaknya gelar itu ditempelkan di depan nama saya. Kelak saya juga mungkin malu ketika gelar DEd mulai disematkan di belakang nama saya, sebab saya yang sangat tahu, layak tidaknya itu.


Saya ingin mencontoh guru-guru saya yang dengan ikhlas meneliti dan rela berkorban dana dan tenaga untuk memperjelas sesuatu yang belum jelas, untuk membuka sesuatu yang belum terbuka. Saya tahu ada beberapa guru saya di Indonesia yang telah mengajarkan ilmu yang sangat berharga dan tak henti meneliti, pun tak menginginkan gelar itu, tetapi masyarakat menuntutnya untuk memakainya. Karena masyarakat lebih menghormati seseorang dengan melihat gelarnya dan bukan karyanya.


Memasangkan gelar di depan dan di belakang nama saya sebagai memaksa saya memakai baju yang saya kurang nyaman dengan warnanya. Ingin sekali saya melepaskannya segera!


(sumber: murniramli.wordpress.com)

9:05 PM

Berapa Gaji Orang Jepang?

Menurut Bank Dunia pada tahun 2005, rata rata pendapatan perkapita orang Jepang adalah sebesar $35.560 atau sekitar 3.500.000 yen per tahun. Angka ini menunjukkan tingkat kesejahteraan yang tinggi orang Jepang, bilsa dibandingkan dengan GNP orang Indonesia yang rata-rata hanya mendapatkan $710 per tahun atau sekitar 70.000 yen.

Sehingga tidak aneh bahwa negara Indonesia termasuk negara miskin berderetan dengan India dan negara negara Asia lainnya. Dengan negara tetangga kita Malaysia saja kalah; yang setiap tahunnya berpendatapan perkapita
$3.500 atau sekitar 350.000 yen.

Kembali ke pertanyaan diatas berapa rata rata pendapatan orang Jepang setiap bulannya. Berikut saya tuliskan datanya (dari data Departeman Tenaga Kerja 厚生労働省 tahun 2003).


Usia Rata-Rata Gaji Bulanan (dalam yen)
18-19 168.200
20-24 201.600
25-29 240.700
30-34 291.000
35-39 344.000
40-44 386.900
45-49 411.900
50-54 411.900
55-59 397.400
60-64 294.600


Berdasarkan data di atas, terlihat bawah di usia antara 45 tahun sampai 54 tahun merupakan usia mencapai gaji bulanan tertinggi bagi orang Jepang. Bila dilihat perjenis pekerjaan, seorang pegawai swasta di Jepang yang disebut dengan istilah サラリーマン, bergaji bulanan rata-rata sebesar 335.500 yen setelah bekerja sekitar 10 tahun. Sedangkan bagi para pekerja pemula gaji mereka UMR mereka rata rata dilihat dari jenjang pendidikan yang diikuti, untuk S1 rata-rata bergaji awal 180.000 yen. Lulusan S2 bergaji awal 200.000 yen dan lulusan S3 bergaji awal sekitar 230.000 yen, bandingkan dengan UMR di indonesia berapa kali lipat ya. Jadi, para mahasiswa yang dapat beasiswa Monbukagakushou yang mendapat 175.000 yen. Itu artinya Anda mendapat beasiswa yang berada di bawah rata rata UMR di negara ini.


Di antara rata rata gaji サラリーマン yang paling tinggi adalah gaji karyawan bank dan asuransi yang berkisar antara 459.800 yen. Sedangkan yang paling kecil gaji pegawai pengangkutan, dan operator telepon yang berkisar di angka 298.800 yen jadi ada perbedaan sekitar 160.000 antara gaji tertinggi dan gaji terendah di antara sesama サラリーマン ini.


Sementara gaji seorang anggota parlemen Jepang rata rata berpenghasilan pertahun sekitar 24.810.000 yen atau bergaji rata rata dua juta yen perbulan, di antara pegawai pemerintah merupakan gaji yang paling tinggi. Sementara kalau dilihat dari wilayah. Wilayah Tokyo berpendapatan perkapita sebesar 4.000.000 yen pertahun. Sedangkan wilayah Okinawa berpendapatan perkapita sebesar 2.050.000 yen menurut data tahun 2001
.

Walaupun orang Jepang termasuk yang berpenghasilan tertinggi di dunia tapi mereka merasa bahwa level hidup mereka berada di tingkat menengah. Hal ini disebabkan oleh mahalnya harga harga kebutuhan dan biaya hidup yang harus ditanggung, misalnya yang termasuk biaya bulananan yang mengurangi jaumlah gaji mereka adalah pajak penghasilan, biaya sewa rumah atau cicilan mansion ke bank, dana pensiun, asuransi, biaya pendidikan anak, lisrik, gas, telpon, internet, ledeng yang jumlahnya hampir setengahnya gaji yang mereka dapat. Inilah yang menyebabkan mereka tidak merasa berpendapatan lebih.


Orang Jepang dalam setahun mendapatkan dua bonus yang jumlahnya biasanya lima kali lipat gaji bulanan dari mereka. Bonus tersebut keluar pada awal liburan musim panas atau obon sekitan bulan Agustus dan di akhir tahun di awal liburan musim dingin. Pada saat inilah orang Jepang menghabiskan pendapatan yang mereka dapat dengan berwisata ke luar negeri 海外旅行. Kegiatan kegiatan lain yang bersifat menghabiskan dan menghamburkan uang seperti pesta, minum-minum bir, dan main pachinko.


Menurut data tahun 2003, jumlah orang Jepang yang melancong ke luar negeri berjumlah 13.300.000 orang. Artinya 1 dari 10 orang orang Jepang sudah pernah melakukan perjalanan ke luar negeri. Jumlah pelancong ke luar negeri terbanyak ada pada tahun 2000 yang mencapai 17.820.000 orang. Mengalami penurunan pada tahun 2001 dan 2002 karena adanya kekhawatiran terhadap terorisme dan SARS. Sekali mereka melakukan perjalanan wisata rata-rata menghabiskan uang sebesar 271.000 yen perorang dan membelanjakan uang yen rata-rata 55.000 yen perorang. Salah satu pendorong banyak orang Jepang berwisata ke luar negeri adalah semakin tingginya nilai yen terhadap dolar--yang mencapai 100 yen per satu dolar. Ini menyebabkan berwisata ke luar negeri lebih murah dari pada berwisata di dalam negeri Jepang sendiri. Seminggu ke Hongkong biayanya akan lebih murah daripada seminggu berwisata ke Hokkaido wilayah utara Jepang.


Orang asing pun merasa bahwa melakukan perjalanan ke luar negeri dari Jepang lebih murah dibandingkan dengan berangkat ke luar negeri dari negaranya sendiri. Mahasiswa asing pun banyak yang melakukan perjalanan wisata keluar Jepang atau pulang ke negaranya dengan tiket pulang pergi yang murah terutama pada pada bulan Maret dan September yang merupakan bulan termurah bagi tiket pesawat ke luar negeri.

(sumber: ndef.multiply.com)

8:18 PM

10 Resep Sukses Bangsa Jepang

Ditulis oleh Romi Satria Wahono

Setelah Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak terkena bom atom sekutu (Amerika), Jepang pelan tapi pasti berhasil bangkit. Mau tidak mau harus diakui saat ini Jepang bersama Cina dan Korea Selatan sudah menjelma menjadi macan Asia dalam bidang teknologi dan ekonomi. Alhamdulillah saya mendapat kesempatan 10 tahun tinggal di Jepang untuk menempuh studi saya. Dalam artikel sebelumnya saya mencoba memotret Jepang dari satu sisi. Kali ini, saya mencoba merumuskan 10 resep yang membuat bangsa Jepang bisa sukses seperti sekarang. Tentu rumusan ini di beberapa sisi agak subyektif, hanya dari pengalaman hidup, studi, bisnis dan bergaul dengan orang Jepang di sekitar perfecture Saitama, Tokyo, Chiba, Yokohama. Intinya kita mencoba belajar sisi Jepang yang baik yang bisa diambil untuk membangun republik ini. Kalau ditanya apakah semua sisi bangsa Jepang selalu baik, tentu jawabannya tidak. Banyak juga budaya negatif yang tidak harus kita contoh.

1. KERJA KERAS
Sudah menjadi rahasia umum bahwa bangsa Jepang adalah pekerja keras. Rata-rata jam kerja pegawai di Jepang adalah 2450 jam/tahun, sangat tinggi dibandingkan dengan Amerika (1957 jam/tahun), Inggris (1911 jam/tahun), Jerman (1870 jam/tahun), dan Perancis (1680 jam/tahun). Seorang pegawai di Jepang bisa menghasilkan sebuah mobil dalam 9 hari, sedangkan pegawai di negara lain memerlukan 47 hari untuk membuat mobil yang bernilai sama. Seorang pekerja Jepang boleh dikatakan bisa melakukan pekerjaan yang biasanya dikerjakan oleh 5-6 orang. Pulang cepat adalah sesuatu yang boleh dikatakan “agak memalukan” di Jepang, dan menandakan bahwa pegawai tersebut termasuk “yang tidak dibutuhkan” oleh perusahaan. Di kampus, professor juga biasa pulang malam (tepatnya pagi), membuat mahasiswa nggak enak pulang duluan. Fenomena karoshi (mati karena kerja keras) mungkin hanya ada di Jepang. Sebagian besar literatur menyebutkan bahwa dengan kerja keras inilah sebenarnya kebangkitan dan kemakmuran Jepang bisa tercapai.

2. MALU
Malu adalah budaya leluhur dan turun temurun bangsa Jepang. Harakiri (bunuh diri dengan menusukkan pisau ke perut) menjadi ritual sejak era samurai, yaitu ketika mereka kalah dan pertempuran. Masuk ke dunia modern, wacananya sedikit berubah ke fenomena “mengundurkan diri” bagi para pejabat (menteri, politikus, dan sebagainya) yang terlibat masalah korupsi atau merasa gagal menjalankan tugasnya. Efek negatifnya mungkin adalah anak-anak SD, SMP yang kadang bunuh diri, karena nilainya jelek atau tidak naik kelas. Karena malu jugalah, orang Jepang lebih senang memilih jalan memutar daripada mengganggu pengemudi di belakangnya dengan memotong jalur di tengah jalan. Bagaimana mereka secara otomatis langsung membentuk antrean dalam setiap keadaan yang membutuhkan, pembelian tiket kereta, masuk ke stadion untuk nonton sepak bola, di halte bus, bahkan untuk memakai toilet umum di stasiun-stasiun, mereka berjajar rapi menunggu giliran. Mereka malu terhadap lingkungannya apabila mereka melanggar peraturan ataupun norma yang sudah menjadi kesepakatan umum.

3. HIDUP HEMAT
Orang Jepang memiliki semangat hidup hemat dalam keseharian. Sikap anti konsumerisme berlebihan ini nampak dalam berbagai bidang kehidupan. Di masa awal mulai kehidupan di Jepang, saya sempat terheran-heran dengan banyaknya orang Jepang ramai belanja di supermarket pada sekitar jam 19:30. Selidik punya selidik, ternyata sudah menjadi hal yang biasa bahwa supermarket di Jepang akan memotong harga sampai separuhnya pada waktu sekitar setengah jam sebelum tutup. Seperti diketahui bahwa Supermarket di Jepang rata-rata tutup pada pukul 20:00. Contoh lain adalah para ibu rumah tangga yang rela naik sepeda menuju toko sayur agak jauh dari rumah, hanya karena lebih murah 20 atau 30 yen. Banyak keluarga Jepang yang tidak memiliki mobil, bukan karena tidak mampu, tapi karena lebih hemat menggunakan bus dan kereta untuk bepergian. Termasuk saya dulu sempat berpikir kenapa pemanas ruangan menggunakan minyak tanah yang merepotkan masih digandrungi, padahal sudah cukup dengan AC yang ada mode dingin dan panas. Alasannya ternyata satu, minyak tanah lebih murah daripada listrik. Profesor Jepang juga terbiasa naik sepeda tua ke kampus, bareng dengan mahasiswa-mahasiswanya.

4. LOYALITAS
Loyalitas membuat sistem karir di sebuah perusahaan berjalan dan tertata dengan rapi. Sedikit berbeda dengan sistem di Amerika dan Eropa, sangat jarang orang Jepang yang berpindah-pindah pekerjaan. Mereka biasanya bertahan di satu atau dua perusahaan sampai pensiun. Ini mungkin implikasi dari Industri di Jepang yang kebanyakan hanya mau menerima fresh graduate, yang kemudian mereka latih dan didik sendiri sesuai dengan bidang garapan (core business) perusahaan. Kota Hofu mungkin sebuah contoh nyata. Hofu dulunya adalah kota industri yang sangat tertinggal dengan penduduk yang terlalu padat. Loyalitas penduduk untuk tetap bertahan (tidak pergi ke luar kota) dan punya komitmen bersama untuk bekerja keras siang dan malam akhirnya mengubah Hofu menjadi kota makmur dan modern. Bahkan saat ini kota industri terbaik dengan produksi kendaraan mencapai 160.000 per tahun.

5. INOVASI
Jepang bukan bangsa penemu, tapi orang Jepang mempunyai kelebihan dalam meracik temuan orang dan kemudian memasarkannya dalam bentuk yang diminati oleh masyarakat. Menarik membaca kisah Akio Morita yang mengembangkan Sony Walkman yang melegenda itu. Cassete Tape tidak ditemukan oleh Sony, patennya dimiliki oleh perusahaan Phillip Electronics. Tapi yang berhasil mengembangkan dan membundling model portable sebagai sebuah produk yang booming selama puluhan tahun adalah Akio Morita, founder dan CEO Sony pada masa itu. Sampai tahun 1995, tercatat lebih dari 300 model walkman lahir dan jumlah total produksi mencapai 150 juta produk. Teknik perakitan kendaraan roda empat juga bukan diciptakan orang Jepang, patennya dimiliki orang Amerika. Tapi ternyata Jepang dengan inovasinya bisa mengembangkan industri perakitan kendaraan yang lebih cepat dan murah. Mobil yang dihasilkan juga relatif lebih murah, ringan, mudah dikendarai, mudah dirawat dan lebih hemat bahan bakar. Perusahaan Matsushita Electric yang dulu terkenal dengan sebutan “maneshita” (peniru) punya legenda sendiri dengan mesin pembuat rotinya. Inovasi dan ide dari seorang engineernya bernama Ikuko Tanaka yang berinisiatif untuk meniru teknik pembuatan roti dari sheef di Osaka International Hotel, menghasilkan karya mesin pembuat roti (home bakery) bermerk Matsushita yang terkenal itu.

6. PANTANG MENYERAH
Sejarah membuktikan bahwa Jepang termasuk bangsa yang tahan banting dan pantang menyerah. Puluhan tahun dibawah kekaisaran Tokugawa yang menutup semua akses ke luar negeri, Jepang sangat tertinggal dalam teknologi. Ketika restorasi Meiji (Meiji Ishin) datang, bangsa Jepang cepat beradaptasi dan menjadi fast-learner. Kemiskinan sumber daya alam juga tidak membuat Jepang menyerah. Tidak hanya menjadi pengimpor minyak bumi, batubara, biji besi, dan kayu, bahkan 85% sumber energi Jepang berasal dari negara lain termasuk Indonesia. Kabarnya kalau Indonesia menghentikan pasokan minyak bumi, maka 30% wilayah Jepang akan gelap gulita Rentetan bencana terjadi di tahun 1945, dimulai dari bom atom di Hiroshima dan Nagasaki, disusul dengan kalah perangnya Jepang, dan ditambahi dengan adanya gempa bumi besar di Tokyo. Ternyata Jepang tidak habis. Dalam beberapa tahun berikutnya Jepang sudah berhasil membangun industri otomotif dan bahkan juga kereta cepat (shinkansen). Mungkin cukup menakjubkan bagaimana Matsushita Konosuke yang usahanya hancur dan hampir tersingkir dari bisnis peralatan elektronik di tahun 1945 masih mampu merangkak, mulai dari nol untuk membangun industri sehingga menjadi kerajaan bisnis di era kekinian. Akio Morita juga awalnya menjadi tertawaan orang ketika menawarkan produk Cassete Tapenya yang mungil ke berbagai negara lain. Tapi akhirnya melegenda dengan Sony Walkman-nya. Yang juga cukup unik bahwa ilmu dan teori dimana orang harus belajar dari kegagalan ini mulai diformulasikan di Jepang dengan nama shippaigaku (ilmu kegagalan). Kapan-kapan saya akan kupas lebih jauh tentang ini.

7. BUDAYA BACA
Jangan kaget kalau anda datang ke Jepang dan masuk ke densha (kereta listrik), sebagian besar penumpangnya baik anak-anak maupun dewasa sedang membaca buku atau koran. Tidak peduli duduk atau berdiri, banyak yang memanfaatkan waktu di densha untuk membaca. Banyak penerbit yang mulai membuat manga (komik bergambar) untuk materi-materi kurikulum sekolah baik SD, SMP maupun SMA. Pelajaran Sejarah, Biologi, Bahasa, dsb disajikan dengan menarik yang membuat minat baca masyarakat semakin tinggi. Saya pernah membahas masalah komik pendidikan di blog ini. Budaya baca orang Jepang juga didukung oleh kecepatan dalam proses penerjemahan buku-buku asing (bahasa Inggris, Prancis, Jerman, dan sebagainya). Konon kabarnya legenda penerjemahan buku-buku asing sudah dimulai pada tahun 1684, seiring dibangunnya institut penerjemahan dan terus berkembang sampai zaman modern. Biasanya terjemahan buku bahasa Jepang sudah tersedia dalam beberapa minggu sejak buku asingnya diterbitkan. Saya biasa membeli buku literatur terjemahan bahasa Jepang karena harganya lebih murah daripada buku asli (bahasa inggris).

8. KERJASAMA KELOMPOK
Budaya di Jepang tidak terlalu mengakomodasi kerja-kerja yang terlalu bersifat individualistik. Termasuk klaim hasil pekerjaan, biasanya ditujukan untuk tim atau kelompok tersebut. Fenomena ini tidak hanya di dunia kerja, kondisi kampus dengan lab penelitiannya juga seperti itu, mengerjakan tugas mata kuliah biasanya juga dalam bentuk kelompok. Kerja dalam kelompok mungkin salah satu kekuatan terbesar orang Jepang. Ada anekdot bahwa “satu orang profesor Jepang akan kalah dengan satu orang profesor Amerika, hanya 10 orang profesor Amerika tidak akan bisa mengalahkan 10 orang profesor Jepang yang berkelompok”. Musyawarah mufakat atau sering disebut dengan “ringi” adalah ritual dalam kelompok. Keputusan strategis harus dibicarakan dalam “ringi”.

9. MANDIRI
Sejak usia dini anak-anak dilatih untuk mandiri. Irsyad, anak saya yang paling gede sempat merasakan masuk Taman Kanak-Kanak (Youchien) di Jepang. Dia harus membawa tiga tas besar berisi pakaian ganti, bentou (bungkusan makan siang), sepatu ganti, buku-buku, handuk dan sebotol besar minuman yang menggantung di lehernya. Di Youchien setiap anak dilatih untuk membawa perlengkapan sendiri, dan bertanggung jawab terhadap barang miliknya sendiri. Lepas SMA dan masuk bangku kuliah hampir sebagian besar tidak meminta biaya kepada orang tua. Teman-temen seangkatan saya dulu di Saitama University mengandalkan kerja part-time (arubaito) untuk biaya sekolah dan kehidupan sehari-hari. Kalaupun kehabisan uang, mereka “meminjam” uang ke orang tua yang itu nanti mereka kembalikan di bulan berikutnya.

10. JAGA TRADISI
Perkembangan teknologi dan ekonomi, tidak membuat bangsa Jepang kehilangan tradisi dan budayanya. Budaya perempuan yang sudah menikah untuk tidak bekerja masih ada dan hidup sampai saat ini. Budaya minta maaf masih menjadi refleks bagi orang Jepang. Kalau suatu hari anda naik sepeda di Jepang dan menabrak pejalan kaki, maka jangan kaget kalau yang kita tabrak malah yang minta maaf duluan. Sampai saat ini orang Jepang relatif menghindari berkata “tidak” untuk apabila mendapat tawaran dari orang lain. Jadi kita harus hati-hati dalam pergaulan dengan orang Jepang karena ”hai” belum tentu “ya” bagi orang Jepang Pertanian merupakan tradisi leluhur dan aset penting di Jepang. Persaingan keras karena masuknya beras Thailand dan Amerika yang murah, tidak menyurutkan langkah pemerintah Jepang untuk melindungi para petaninya. Kabarnya tanah yang dijadikan lahan pertanian mendapatkan pengurangan pajak yang signifikan, termasuk beberapa insentif lain untuk orang-orang yang masih bertahan di dunia pertanian. Pertanian Jepang merupakan salah satu yang tertinggi di dunia.

Mungkin seperti itu 10 resep sukses yang bisa saya rangkumkan. Bangsa Indonesia punya hampir semua resep orang Jepang di atas, hanya mungkin kita belum mengasahnya dengan baik. Di Jepang mahasiswa Indonesia termasuk yang unggul dan bahkan mengalahkan mahasiswa Jepang. Orang Indonesia juga memenangkan berbagai award berlevel internasional. Saya yakin ada faktor “non-teknis” yang membuat Indonesia agak terpuruk dalam teknologi dan ekonomi. Mari kita bersama mencari solusi untuk berbagai permasalahan republik ini. Dan terakhir kita harus tetap mau belajar dan menerima kebaikan dari siapapun juga.

Tetap dalam perdjoeangan!

(sumber: romisatriawahono.net)

8:15 PM

Wanita Jepang Semakin Hari Semakin Ramping

Menurut sebuah survey di Amerika Serikat, para wanita Jepang semakin hari semakin ramping, sedangkan para wanita Amerika justru semakin gemuk.


wanita jepang


"Saya cukup gemuk, sebenarnya," kata Michie Takagi, seorang nenek berumur 70 tahun, pemilik toko pakaian ketika ditanya pendapatnya. Dia memiliki nilai body mass index (BMI) 19, yang berarti beratnya sangat jauh dari kegemukan.

Rata-rata wanita Amerika telah menambah berat badannya sekitar 50 kg selama 30 tahun terakhir, sedangkan sang nenek Takagi baru menambah 9 kg.


jepang


Tapi masih lebih kurus wanita Jepang yang berumur kurang dari 60 tahun bahkan menurut standar internasional 30 tahun yang lalu dan sejak itu para wanita Jepang terus menurunkan berat badannya.

Kecenderungan ini bisa dilihat paling menonjol di kalangan perempuan berusia 20-an. Seperempat abad yang lalu, mereka dua kali lebih mungkin untuk menjadi kurus, tapi sekarang mereka empat kali lebih mungkin untuk menjadi kurus. Untuk para wanita Amerika dari segala usia, tingkat obesitas sudah meningkat dua kali lipat sejak tahun 1980, naik dari 17 persen menjadi 35 persen.

Trend di antara para perempuan muda ini bisa terjadi karena dampak tekanan sosial dan media promosi kekurusan sebagai keindahan. Nampaknya masih ada beberapa pertanyaan tentang mengapa wanita Jepang sangat mudah dipengaruhi oleh apa yang mereka lihat di TV dan majalah:

"Di Amerika Serikat, anda melihat semua orang kurus nan indah di televisi, namun mereka berat badannya bertambah terus," kata Sasaki, ahli kesehatan masyarakat di Universitas Tokyo. "Kenapa bisa begitu ya?"

(sumber: jepang.net)